Senin, 22 Juli 2013

The Misterious Angel


“Malaikat di Tengah Kesunyian”

            Sunyi. Itulah keadaan yang biasa aku rasakan setiap harinya. Hidup yang sangat hampa, menurutku. Tampak jelas sekali. Apalagi ketika aku harus menikmati rumah mewah hanya sendirian tanpa seorang pembantu rumah tangga. Yah, bisa dibayangkan betapa sengsaranya menjadi diriku. Miris juga saat aku harus menikmati makan siangku di sekolah dengan bangku yang kosong tepat di depan mataku. Entah. Mengapa hidupku seperti ini. Seakan-akan dunia ini hanya milikku saja. Padahal di sekelilingku banyak orang-orang yang hanya melihatku tanpa ingin berteman denganku.

            Begitulah gambaran hidupku saat ini. Oh ya, perkenalkan, namaku Graciella Shyekina. Biasa dipanggil Shye. Aku gadis yang genap berumur enam belas tahun. Aku hanya memiliki seorang ayah yang baik bahkan terlalu baik bagiku. Namun kenyataannya tak seperti yang ku katakan. Ayahku sangat baik. Saking baiknya Beliau tak pernah sedikitpun peduli dengan hidupku yang seperti ini. Tak hanya itu. Aku tak memiliki sahabat—yang benar-benar sahabat. Namun di sisi lain, aku memiliki kerinduan yaitu sebelum hidupku berakhir, aku ingin memiliki seorang sahabat. Sahabat yang sesungguhnya. Aku yakin pasti ada—walaupun buatku itu impossible. Hanya bermimpi bahkan !

            “Shye, hari ini Papa mau berangkat ke Paris untuk melakukan pekerjaan. Papa harap kamu bisa menjaga rumah sebesar ini. Papa memang sengaja tidak memanggil pembantu. Karena Papa yakin kamu bisa menjaganya. Papa pergi tak lama. Hanya sebulan saja.” ucap Papaku sebelum keberangkatannya menuju Bandara Soekarno-Hatta.”Iya, Pa. Aku harap Papa tak lupa membawakanku oleh-oleh.” pintaku sambil tersenyum.”Tentu.” sahutnya.

            Hari ini aku mengantar Papa pergi ke bandara setelah itu aku berangkat menuju ke sekolah. Dalam batinku, aku berharap aku tidak terlambat. Tak hanya itu, semoga saja aku bisa bertahan sendiri bersama rumahku yang lumayan besar. Semoga. Setelah aku mengantar kepergian Papa, aku segera menancapkan gas menuju sekolah. Untung saja masih pagi. Jadi, aku bisa lebih awal datang ke sekolah.

            Sejenak aku terdiam mengingat kegiatanku di sekolah. Hampa sekali tanpa seorang teman. Entah mengapa jarang ada yang mau berteman denganku.Mungkin karena secara fisik aku tak sesempurna perempuan lain. Lebih tepatnya dengan kepala tanpa rambut. Aku juga tak mengerti. Kejadian itu ternyata membuatku seperti ini dan aku harus kehilangan seorang Ibu yang menyayangiku. Tetapi aku yakin bahwa suatu saat ada seorang malaikat yang turun untuk menghiburku.
._.

            “Halo.” kata seseorang yang bertubuh tinggi dari arah tempat parkir. Aku menoleh kemudian aku berusaha menutupi kepalaku dengan penutup kepala yang ada pada jaketku. Aku malu. “Halo juga.” jawabku polos.

            “Mengapa kepalamu kau tutupi? Kau unik. Ups.” katanya. Aku sedikit tersindir. Siapa dia? Mengapa aku baru saja melihatnya? Apa dia murid baru di sekolah ini? pikirku. “Tak apa. Aku duluan ya.” sahutku kemudian berusaha meninggalkannya. Tetapi ternyata tangannya memegang tanganku. Langkahku terhenti dan aku menoleh.

            “Namaku Billy. Billy Angelson. Kau?” tanyanya sembari menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Begitu pentingkah aku memperkenalkan diriku sedangkan kau baru saja melihatku lalu memegang tanganku?”

            “Oh, sorry. Aku tak bermaksud bermacam-macam denganmu. Aku murid baru di sekolah ini. Aku kelas sepuluh. Tepatnya sepuluh satu. Kau tahu tempatnya?” tanyanya kepadaku. Aku terdiam. Sepuluh Satu? Bukankah itu adalah kelasku? Oh, tidak! Mengapa aku harus satu kelas bersama dia? Billy Angelson !

            “Ya, aku tahu. Aku akan mengantarmu. Ayo.” jawabku sembari melkagkahkan kaki menuju lorong kelas. Rasanya hatiku berubah menjadi sedikit gugup. Ya, aku sadar kalau dia sangat tampan. Tetapi ini bukan masalah tampan tidaknya. Tetapi masalah hati. Sepertinya aku pernah mengalami seperti ini. Sudahlah. Biarlah.

            “Hey, aku belum mengetahui siapa namamu. Bisakah kau memperkenalkan dirimu?” tanyanya. “Sudahlah. Kau akan mengetahui siapa aku.” Aku tersenyum dan kulihat ia tersenyum tanda setuju.
           Aku berjalan menyusuri lorong kelas yang panjang itu. Disana berdiri banyak tiang yang menyangga atap di lorong itu. Bisa dibilang seperti bangunan rumah sakit. Akhirnya aku memasuki kelas bertuliskan X-1 di bagian atas pintu kelas. Aku mempersilahkan Billy masuk sedangkan aku tetap di luar kelas menunggu waktu jam pelajaran dimulai.

            “Aku senang dengan suasana sekolah ini. Seperti tak asing bagiku.” Ucapnya sambil duduk di sebelah kiriku. Aku mengalihkan pandangan mataku. Aku sungguh malu melihatnya dengan keadaan seperti ini.

            Bel tanda masuk kelaspun berbunyi nyaring. Aku bergegas masuk kelas. Yup! Kelas X-1 bersama Billy. Aku mencari bangku yang selalu ku tempati sendirian. Di pojok kelas aku selalu sendiri. Hanya tembok saja yang bersamaku. Namun saat ini aku merasa begitu asing. Ternyata tak disangka bangku kosong itu terisi dengan tas yang dipakai Billy. Oh tidak! Mengapa aku harus satu bangku dengannya? Apa ini takdir?

            Guru mata pelajaran memasuki kelasku. Terdengar suara high heels guru Bahasa Inggrisku berbunyi. Beliau duduk di bangku guru dan kemudian mengabsen siswa yang hadir. Satu persatu siswa dipanggil kemudian mengacungkan tangannya.

            “Graciella Shyekina?” panggilnya. “Hadir, Bu.” jawabku singkat. Billy sepertinya menoleh ke arahku. “Siapa namamu? Shyekina?” tanyanya. “Iya. Graciella Shyekina.”

            “Oke. Nama yang bagus. Aku menyukai namamu.” katanya tersenyum. Begitupun  aku. Aku ikut tersenyum melihat senyumannya itu. Begitu mendamaikan hatiku.

._.

            Hari demi hari kunikmati bersama Billy. Ternyata ia tak seperti yang kubayangkan. Betapa bahagianya memiliki teman dekat sepertinya. “Shye, maaf jika aku bertanya seperti ini kepadamu. Kau pernah mengalami kecelakaan kah?” tanyanya serius. “Iya. Beberapa minggu yang lalu bersama mamaku. Selain kehilangan rambutku karena harus ada yang dioperasi, aku juga rela kehilangan mamaku.” Aku tertunduk sedih.

            “Maaf, Shye. Aku tak bermaksud membuatmu sedih seperti ini. Maaf.” ucapnya. “Tak apa-apa, Bill. Bagiku sudah biasa ada seseorang yang baru mengenalku lalu bertanya seperti itu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”

            “Shye, kau masih beruntung masih ada seorang ayah. Aku tak memiliki ayah dan ibu. Aku hanya hidup bersama dua adik kecilku. Tetapi mereka sedang bersama Omaku di luar negeri. Sedangkan disini aku hanya sendiri. Dulu, ayah dan ibuku pernah memarahi hingga habis-habisan. Sejak saat itu aku putus asa dan mau mati rasanya. Bahkan aku ingin menabrakkan diriku di tengah jalan.” Katanya panjang lebar. Tetapi aku berusaha menyelanya.

            “Karena apa hingga orang tuamu memarahimu habis-habisan?” tanyaku di sela-sela pembicaraannya. “Karena aku pernah mengonsumsi obat-obatan seperti narkoba. Sejak itu juga, aku merasa melayang-layang. Apapun aku lakukan untuk mendapatkan obat itu. Hingga suatu hari aku tak memiliki apa-apa. Akhirnya aku pergi ke rehabilitasi sendiri untuk menyembuhkan kecanduan narkoba itu. Pada akhirnya aku dinyatakan sembuh dan bisa ada disini bersamamu.” jawabnya.

            “Apa kau membenci orang tuamu saat mereka sudah tiada?” tanyaku penasaran. “Tidak, aku tak pernah membencinya. Aku merasa mereka adalah anugerah dari Sang Kuasa. Kalau mereka tidak ada, aku tak mungkin bisa berada disini. Bahkan bisa berjumpa denganmu. Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau membenci kedua orang tuamu?” Aku terdiam berpikir.”Awalnya begitu. Bukan mamaku tetapi papaku. Beliau selalu memarahiku. Tetapi sejak kau bercerita tentang dirimu aku merasa ada damai dan aku merasakan bahwa papaku ada karena aku menghiburnya. Begitu pikirku. Oh ya, apa kau tak malu memiliki teman yang tak punya rambut sepertiku?”

            “Atas dasar apa aku harus malu? Apa semuanya harus selalu melihat fisik? Tidak kan? Aku melihat hatiu, Shye. Bukan kepalamu ada rambutnya atau tidak. Shye, aku tahu aku baru mengenalmu, tetapi aku merasa bahwa kau adalah seseorang yang sudah lama ku kenal. Kau percaya itu?” tawanya. “Ya, aku percaya. Oh ya, aku menyukai nama belakangmu. Angelson. Apa kau benar-benar malaikat yang membuatku berbeda?” tanyaku.

            “Mungkin. Tetapi aku berharap aku adalah utusan Tuhan untuk membuat hidupmu berbeda. Tetapi malaikat bisa saja pergi secara tiba-tiba.” Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

            “Kau akan mengerti suatu saat. Ya sudah, ayo masuk kelas.” Katanya sambil menarik tanganku. “Oke.” Aku tersenyum.

            Aku merasakan sesuatu yang misterius dalam dirinya. Begitu misterius. Dulu, saat jam istirahat, aku tak pernah berbicara bersama teman-teman. Tetapi saat ini ada malaikat yang datang untuk mengisi kesunyian hidupku.Billy Angelson.

            Sudah berbulan-bulan aku menikmati kehidupan bersama seorang malaikat. Bisa dikatakan seperti itu. Aku sering mengajaknya jalan-jalan, bermain bersama, menemaniku di rumah, memasak bersama, bahkan pernah berjalan-jalan bersama Papa. Yah, tak apalah. Sedikit mengurangi rasa rindunya bersama ayahnya. Aku merasakan keluarga baru. Sekarang.
._.
            “Shye.” ucap seseorang dari arah berjauhan. . Saat ku lihat adalah Billy. Teman satu bangku. Menurutku dia adalah seorang yang tampan, baik, pintar, dan sebagainya. Sayangnya, dia sudah kuanggap sebagai bagian dari keluarga kecilku bersama Papa.

            “Ada apa, Bill?” jawabku ketika ia berusaha meraih tanganku. Tetapi aku menolaknya mentah-mentah.

            “Tak apa. Hanya ingin menemanimu. Aku tahu selama kau masuk SMA ini kau tak pernah memiliki kawan selain aku. Iya kan?” katanya sembari mengubah raut wajahnya menjadi gembira. “Hah? Aku bilangi ya, Bill. Kalau jadi seseorang itu yang biasa saja. Jangan pernah bangga dengan apa yang ada saat ini. Oh ya, satu lagi, jadi orang jangan terlalu kege-eran ya!” ucapku sambil melangkahkan kakiku pergi dari hadapan Billy. Ku menoleh sedikit. Ku lihat raut wajahnya berubah sedikit kecewa. Sedikit dia menolehku dan aku tersenyum padanya.

            “Shye, tunggu !” pekiknya. Ku dengar langkah kakinya yang sedikit cepat seperti sedang berlari. Ku tengok ke belakang ternyata dia berlarian mengejarku. Aku terhenti. “Oke. Aku minta maaf sama kamu, Shye. Aku hanya bercanda tetapi kau malah serius.” katanya.

            “Ha..ha..ha..Billy Billy. Makanya, jangan seperti itu sama aku. Kena sendiri kan? Wekk!”, ucapku sembari menjulurkan lidahku. “Shye, kau sakit? Lidahmu pucat.” tanya Billy kepadaku. Aku berlari menuju kamar mandi. Dengan khawatir aku melihat lidahku di cermin dan hasilnya adalah pucat. Sesuai yang dikatakan Billy. Billy tak bohong! Tetapi pucat karena apa? Apa aku sakit?

._.

            Kejadian siang itu membuat keadaanku menjadi seperti ini. Kesehatanku tak terkontrol dengan baik. Beruntung aku masih dapat berjalan, berlari, menari, berolahraga, dan sebagainya. Namun, aku tak boleh terlalu capek. Begitulah kata dokter. Sejak kejadian itu juga, Billy tak berani becanda berlebihan. Karena ia tahu bahwa keadaanku mudah untuk melemas.

            “Shye, hari ini aku tak bisa menemani makan siangmu. Aku harus berlatih futsal. Kau tahu kan aku harus bertanding minggu depan? Jadi aku meminta maaf. Ku harap kau bisa mengerti. Oh ya, jangan lupa untuk meminum obatmu.” ucapnya terlalu panjang. “Iya, aku mengerti.” begitulah ucapku. Dalam pikiranku, Billy terlalu sibuk akhir-akhir ini. Entah mengapa dia tak seperti dulu ketika aku mengenalnya. Atau mungkin dia merasa tak cocok berteman denganku. Sudah kuduga kalau tak mungkin aku memiliki sahabat yang benar-benar sahabat. Tetapi mungkin itu hanya perasaan dan pikiranku saja. Biarlah.

            Aku yang dari tadi duduk bersama bangku kosong hanya membayangkan sesuatu yang akan terjadi padaku. Dengan keadaan seperti ini, akankah aku bisa bertahan hidup? Bertahan tanpa seseorang yang tahu apa yang terjadi dalam tubuhku ini? Sedih rasanya.

._.

            “Shye, ada sesuatu yang harus kubicarakan padamu sekarang.” katanya. “Begitu pentingkah aku ? Sehingga kau ingin berbicara sesuatu kepadaku ?” jawabku sedikit kasar kupikir. Bahkan aku tak mengerti aku bisa berbicara seperti ini kepada Billy—teman sebangku tetapi sangat begitu dekat.

            “Shye, mengapa kau bisa berkata seperti itu kepadaku? Apakah kau sudah mengerti semuanya?” Mengerti semuanya? Apa maksudnya Billy berkata seperti itu? Seakan-akan aku mengerti tentang semuanya. Semua yang disembunyikan dari diriku?

            “Mengerti semuanya? Tentang apa, Billy? Aku tak pernah mengerti semuanya tentang dirimu kecuali pendidikanmu.” sentakku kepada Billy yang tengah duduk di depanku. “Shye, dengar baik-baik.” Katanya sembari memegang kedua pipiku kemudian ia melanjutkan pembicaraannya. “Aku mengalami penyakit tumor otak. Kau tahu itu kan?”

            Aku terdiam kemudian berteriak di depannya. “Mengapa kau sembunyikan ini semua daripada aku Billy? Mengapa ?!! Apa kau takut aku sedih? Buat apa?!?!” aku menangis. Ia memelukku dengan erat. Aku merasakan dia adalah seseorang yang benar-benar ada saat ini. Aku mendengar isak tangis tetapi sepertinya bukan Billy. Misterius. “Aku menyayangimu, Shyekina.” ucapnya. “Aku juga menyayangimu Billy. Sungguh”. Pelukan itu rasanya tiba-tiba menghilang. Perlahan terlepas dari tubuhku. Aku membuka mata. Aku menangis setelah melihat badannya begitu lemas dan matanya tertutup rapat. Aku terjerit di kala kesunyian itu begitu terasa. Aku berusaha membangunkannya tetapi ternyata tak dapat. Takdir sudah mencabut nyawanya.

._.

            Dunia terasa hampa setelah kepergian Billy. Seorang malaikat pembuat keramaian dalam hidupku. Sesuai namanya, Billy Angelson. Bagiku, ia adalah malaikat yang ada bagiku selamanya. Mungkin aku tak ada di seumur hidupnya, namun malaikat yang awalnya misterius itu ternyata memberikan arti hidup yang sesungguhnya. Banyak pelajaran yang kudapat dari dirinya. Pelajaran yang begitu menguatkan.

Satu hal, walaupun saat ini aku jauh dari dirinya, aku merasakan betapa terasanya kasih sayangnya dalam hidupku. Mungkin aku bukan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Tetapi bagiku, dia adalah sosok yang berarti dalam hidupku ketika ia memberikan pesan-pesan istimewa kepadaku sebelum ia pergi meninggalkanku. Begitu mengasihi dirinya. Billy Angelson.(ey)