“Malaikat
di Tengah Kesunyian”
Sunyi. Itulah keadaan yang biasa aku
rasakan setiap harinya. Hidup yang sangat hampa, menurutku. Tampak jelas
sekali. Apalagi ketika aku harus menikmati rumah mewah hanya sendirian tanpa
seorang pembantu rumah tangga. Yah, bisa dibayangkan betapa sengsaranya menjadi
diriku. Miris juga saat aku harus menikmati makan siangku di sekolah dengan
bangku yang kosong tepat di depan mataku. Entah. Mengapa hidupku seperti ini.
Seakan-akan dunia ini hanya milikku saja. Padahal di sekelilingku banyak
orang-orang yang hanya melihatku tanpa ingin berteman denganku.
Begitulah gambaran hidupku saat ini.
Oh ya, perkenalkan, namaku Graciella Shyekina. Biasa dipanggil Shye. Aku gadis
yang genap berumur enam belas tahun. Aku hanya memiliki seorang ayah yang baik
bahkan terlalu baik bagiku. Namun kenyataannya tak seperti yang ku katakan.
Ayahku sangat baik. Saking baiknya Beliau tak pernah sedikitpun peduli dengan
hidupku yang seperti ini. Tak hanya itu. Aku tak memiliki sahabat—yang
benar-benar sahabat. Namun di sisi lain, aku memiliki kerinduan yaitu sebelum
hidupku berakhir, aku ingin memiliki seorang sahabat. Sahabat yang
sesungguhnya. Aku yakin pasti ada—walaupun buatku itu impossible. Hanya bermimpi bahkan !
“Shye, hari ini Papa mau berangkat
ke Paris untuk melakukan pekerjaan. Papa harap kamu bisa menjaga rumah sebesar
ini. Papa memang sengaja tidak memanggil pembantu. Karena Papa yakin kamu bisa
menjaganya. Papa pergi tak lama. Hanya sebulan saja.” ucap Papaku sebelum
keberangkatannya menuju Bandara Soekarno-Hatta.”Iya, Pa. Aku harap Papa tak
lupa membawakanku oleh-oleh.” pintaku sambil tersenyum.”Tentu.” sahutnya.
Hari ini aku mengantar Papa pergi ke
bandara setelah itu aku berangkat menuju ke sekolah. Dalam batinku, aku
berharap aku tidak terlambat. Tak hanya itu, semoga saja aku bisa bertahan
sendiri bersama rumahku yang lumayan besar. Semoga. Setelah aku mengantar
kepergian Papa, aku segera menancapkan gas menuju sekolah. Untung saja masih
pagi. Jadi, aku bisa lebih awal datang ke sekolah.
Sejenak aku terdiam mengingat
kegiatanku di sekolah. Hampa sekali tanpa seorang teman. Entah mengapa jarang
ada yang mau berteman denganku.Mungkin karena secara fisik aku tak sesempurna
perempuan lain. Lebih tepatnya dengan kepala tanpa rambut. Aku juga tak
mengerti. Kejadian itu ternyata membuatku seperti ini dan aku harus kehilangan
seorang Ibu yang menyayangiku. Tetapi aku yakin bahwa suatu saat ada seorang
malaikat yang turun untuk menghiburku.
._.
“Halo.” kata seseorang yang bertubuh
tinggi dari arah tempat parkir. Aku menoleh kemudian aku berusaha menutupi
kepalaku dengan penutup kepala yang ada pada jaketku. Aku malu. “Halo juga.”
jawabku polos.
“Mengapa kepalamu kau tutupi? Kau
unik. Ups.” katanya. Aku sedikit tersindir. Siapa dia? Mengapa aku baru saja
melihatnya? Apa dia murid baru di sekolah ini? pikirku. “Tak apa. Aku duluan
ya.” sahutku kemudian berusaha meninggalkannya. Tetapi ternyata tangannya
memegang tanganku. Langkahku terhenti dan aku menoleh.
“Namaku Billy. Billy Angelson. Kau?”
tanyanya sembari menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Begitu pentingkah aku
memperkenalkan diriku sedangkan kau baru saja melihatku lalu memegang
tanganku?”
“Oh, sorry. Aku tak bermaksud
bermacam-macam denganmu. Aku murid baru di sekolah ini. Aku kelas sepuluh.
Tepatnya sepuluh satu. Kau tahu tempatnya?” tanyanya kepadaku. Aku terdiam.
Sepuluh Satu? Bukankah itu adalah kelasku? Oh, tidak! Mengapa aku harus satu
kelas bersama dia? Billy Angelson !
“Ya, aku tahu. Aku akan mengantarmu.
Ayo.” jawabku sembari melkagkahkan kaki menuju lorong kelas. Rasanya hatiku
berubah menjadi sedikit gugup. Ya, aku sadar kalau dia sangat tampan. Tetapi
ini bukan masalah tampan tidaknya. Tetapi masalah hati. Sepertinya aku pernah
mengalami seperti ini. Sudahlah. Biarlah.
“Hey, aku belum mengetahui siapa
namamu. Bisakah kau memperkenalkan dirimu?” tanyanya. “Sudahlah. Kau akan
mengetahui siapa aku.” Aku tersenyum dan kulihat ia tersenyum tanda setuju.
Aku berjalan menyusuri lorong kelas
yang panjang itu. Disana berdiri banyak tiang yang menyangga atap di lorong
itu. Bisa dibilang seperti bangunan rumah sakit. Akhirnya aku memasuki kelas
bertuliskan X-1 di bagian atas pintu kelas. Aku mempersilahkan Billy masuk
sedangkan aku tetap di luar kelas menunggu waktu jam pelajaran dimulai.
“Aku senang dengan suasana sekolah
ini. Seperti tak asing bagiku.” Ucapnya sambil duduk di sebelah kiriku. Aku
mengalihkan pandangan mataku. Aku sungguh malu melihatnya dengan keadaan
seperti ini.
Bel tanda masuk kelaspun berbunyi
nyaring. Aku bergegas masuk kelas. Yup! Kelas X-1 bersama Billy. Aku mencari
bangku yang selalu ku tempati sendirian. Di pojok kelas aku selalu sendiri.
Hanya tembok saja yang bersamaku. Namun saat ini aku merasa begitu asing.
Ternyata tak disangka bangku kosong itu terisi dengan tas yang dipakai Billy.
Oh tidak! Mengapa aku harus satu bangku dengannya? Apa ini takdir?
Guru mata pelajaran memasuki
kelasku. Terdengar suara high heels guru Bahasa Inggrisku berbunyi. Beliau
duduk di bangku guru dan kemudian mengabsen siswa yang hadir. Satu persatu
siswa dipanggil kemudian mengacungkan tangannya.
“Graciella Shyekina?” panggilnya.
“Hadir, Bu.” jawabku singkat. Billy sepertinya menoleh ke arahku. “Siapa
namamu? Shyekina?” tanyanya. “Iya. Graciella Shyekina.”
“Oke. Nama yang bagus. Aku menyukai
namamu.” katanya tersenyum. Begitupun
aku. Aku ikut tersenyum melihat senyumannya itu. Begitu mendamaikan
hatiku.
._.
Hari demi hari kunikmati bersama
Billy. Ternyata ia tak seperti yang kubayangkan. Betapa bahagianya memiliki
teman dekat sepertinya. “Shye, maaf jika aku bertanya seperti ini kepadamu. Kau
pernah mengalami kecelakaan kah?” tanyanya serius. “Iya. Beberapa minggu yang
lalu bersama mamaku. Selain kehilangan rambutku karena harus ada yang
dioperasi, aku juga rela kehilangan mamaku.” Aku tertunduk sedih.
“Maaf, Shye. Aku tak bermaksud
membuatmu sedih seperti ini. Maaf.” ucapnya. “Tak apa-apa, Bill. Bagiku sudah
biasa ada seseorang yang baru mengenalku lalu bertanya seperti itu. Sudahlah,
jangan terlalu dipikirkan.”
“Shye, kau masih beruntung masih ada
seorang ayah. Aku tak memiliki ayah dan ibu. Aku hanya hidup bersama dua adik
kecilku. Tetapi mereka sedang bersama Omaku di luar negeri. Sedangkan disini
aku hanya sendiri. Dulu, ayah dan ibuku pernah memarahi hingga habis-habisan.
Sejak saat itu aku putus asa dan mau mati rasanya. Bahkan aku ingin menabrakkan
diriku di tengah jalan.” Katanya panjang lebar. Tetapi aku berusaha menyelanya.
“Karena apa hingga orang tuamu
memarahimu habis-habisan?” tanyaku di sela-sela pembicaraannya. “Karena aku
pernah mengonsumsi obat-obatan seperti narkoba. Sejak itu juga, aku merasa
melayang-layang. Apapun aku lakukan untuk mendapatkan obat itu. Hingga suatu
hari aku tak memiliki apa-apa. Akhirnya aku pergi ke rehabilitasi sendiri untuk
menyembuhkan kecanduan narkoba itu. Pada akhirnya aku dinyatakan sembuh dan
bisa ada disini bersamamu.” jawabnya.
“Apa kau membenci orang tuamu saat
mereka sudah tiada?” tanyaku penasaran. “Tidak, aku tak pernah membencinya. Aku
merasa mereka adalah anugerah dari Sang Kuasa. Kalau mereka tidak ada, aku tak
mungkin bisa berada disini. Bahkan bisa berjumpa denganmu. Mengapa kau bertanya
seperti itu? Apa kau membenci kedua orang tuamu?” Aku terdiam berpikir.”Awalnya
begitu. Bukan mamaku tetapi papaku. Beliau selalu memarahiku. Tetapi sejak kau
bercerita tentang dirimu aku merasa ada damai dan aku merasakan bahwa papaku
ada karena aku menghiburnya. Begitu pikirku. Oh ya, apa kau tak malu memiliki
teman yang tak punya rambut sepertiku?”
“Atas dasar apa aku harus malu? Apa
semuanya harus selalu melihat fisik? Tidak kan? Aku melihat hatiu, Shye. Bukan
kepalamu ada rambutnya atau tidak. Shye, aku tahu aku baru mengenalmu, tetapi
aku merasa bahwa kau adalah seseorang yang sudah lama ku kenal. Kau percaya
itu?” tawanya. “Ya, aku percaya. Oh ya, aku menyukai nama belakangmu. Angelson.
Apa kau benar-benar malaikat yang membuatku berbeda?” tanyaku.
“Mungkin. Tetapi aku berharap aku
adalah utusan Tuhan untuk membuat hidupmu berbeda. Tetapi malaikat bisa saja
pergi secara tiba-tiba.” Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Kau akan mengerti suatu saat. Ya
sudah, ayo masuk kelas.” Katanya sambil menarik tanganku. “Oke.” Aku tersenyum.
Aku merasakan sesuatu yang misterius
dalam dirinya. Begitu misterius. Dulu, saat jam istirahat, aku tak pernah
berbicara bersama teman-teman. Tetapi saat ini ada malaikat yang datang untuk
mengisi kesunyian hidupku.Billy Angelson.
Sudah berbulan-bulan aku menikmati
kehidupan bersama seorang malaikat. Bisa dikatakan seperti itu. Aku sering
mengajaknya jalan-jalan, bermain bersama, menemaniku di rumah, memasak bersama,
bahkan pernah berjalan-jalan bersama Papa. Yah, tak apalah. Sedikit mengurangi
rasa rindunya bersama ayahnya. Aku merasakan keluarga baru. Sekarang.
._.
“Shye.” ucap seseorang dari arah
berjauhan. . Saat ku lihat adalah Billy. Teman satu bangku. Menurutku dia
adalah seorang yang tampan, baik, pintar, dan sebagainya. Sayangnya, dia sudah
kuanggap sebagai bagian dari keluarga kecilku bersama Papa.
“Ada apa, Bill?” jawabku ketika ia
berusaha meraih tanganku. Tetapi aku menolaknya mentah-mentah.
“Tak apa. Hanya ingin menemanimu.
Aku tahu selama kau masuk SMA ini kau tak pernah memiliki kawan selain aku. Iya
kan?” katanya sembari mengubah raut wajahnya menjadi gembira. “Hah? Aku bilangi
ya, Bill. Kalau jadi seseorang itu yang biasa saja. Jangan pernah bangga dengan
apa yang ada saat ini. Oh ya, satu lagi, jadi orang jangan terlalu kege-eran ya!”
ucapku sambil melangkahkan kakiku pergi dari hadapan Billy. Ku menoleh sedikit.
Ku lihat raut wajahnya berubah sedikit kecewa. Sedikit dia menolehku dan aku
tersenyum padanya.
“Shye, tunggu !” pekiknya. Ku dengar
langkah kakinya yang sedikit cepat seperti sedang berlari. Ku tengok ke
belakang ternyata dia berlarian mengejarku. Aku terhenti. “Oke. Aku minta maaf
sama kamu, Shye. Aku hanya bercanda tetapi kau malah serius.” katanya.
“Ha..ha..ha..Billy Billy. Makanya,
jangan seperti itu sama aku. Kena sendiri kan? Wekk!”, ucapku sembari
menjulurkan lidahku. “Shye, kau sakit? Lidahmu pucat.” tanya Billy kepadaku.
Aku berlari menuju kamar mandi. Dengan khawatir aku melihat lidahku di cermin
dan hasilnya adalah pucat. Sesuai yang dikatakan Billy. Billy tak bohong!
Tetapi pucat karena apa? Apa aku sakit?
._.
Kejadian siang itu membuat keadaanku
menjadi seperti ini. Kesehatanku tak terkontrol dengan baik. Beruntung aku
masih dapat berjalan, berlari, menari, berolahraga, dan sebagainya. Namun, aku
tak boleh terlalu capek. Begitulah kata dokter. Sejak kejadian itu juga, Billy
tak berani becanda berlebihan. Karena ia tahu bahwa keadaanku mudah untuk
melemas.
“Shye, hari ini aku tak bisa
menemani makan siangmu. Aku harus berlatih futsal. Kau tahu kan aku harus
bertanding minggu depan? Jadi aku meminta maaf. Ku harap kau bisa mengerti. Oh
ya, jangan lupa untuk meminum obatmu.” ucapnya terlalu panjang. “Iya, aku
mengerti.” begitulah ucapku. Dalam pikiranku, Billy terlalu sibuk akhir-akhir
ini. Entah mengapa dia tak seperti dulu ketika aku mengenalnya. Atau mungkin
dia merasa tak cocok berteman denganku. Sudah kuduga kalau tak mungkin aku memiliki
sahabat yang benar-benar sahabat. Tetapi mungkin itu hanya perasaan dan
pikiranku saja. Biarlah.
Aku yang dari tadi duduk bersama
bangku kosong hanya membayangkan sesuatu yang akan terjadi padaku. Dengan
keadaan seperti ini, akankah aku bisa bertahan hidup? Bertahan tanpa seseorang
yang tahu apa yang terjadi dalam tubuhku ini? Sedih rasanya.
._.
“Shye, ada sesuatu yang harus
kubicarakan padamu sekarang.” katanya. “Begitu pentingkah aku ? Sehingga kau
ingin berbicara sesuatu kepadaku ?” jawabku sedikit kasar kupikir. Bahkan aku
tak mengerti aku bisa berbicara seperti ini kepada Billy—teman sebangku tetapi sangat
begitu dekat.
“Shye, mengapa kau bisa berkata
seperti itu kepadaku? Apakah kau sudah mengerti semuanya?” Mengerti semuanya?
Apa maksudnya Billy berkata seperti itu? Seakan-akan aku mengerti tentang
semuanya. Semua yang disembunyikan dari diriku?
“Mengerti semuanya? Tentang apa,
Billy? Aku tak pernah mengerti semuanya tentang dirimu kecuali pendidikanmu.” sentakku
kepada Billy yang tengah duduk di depanku. “Shye, dengar baik-baik.” Katanya
sembari memegang kedua pipiku kemudian ia melanjutkan pembicaraannya. “Aku
mengalami penyakit tumor otak. Kau tahu itu kan?”
Aku terdiam kemudian berteriak di
depannya. “Mengapa kau sembunyikan ini semua daripada aku Billy? Mengapa ?!!
Apa kau takut aku sedih? Buat apa?!?!” aku menangis. Ia memelukku dengan erat.
Aku merasakan dia adalah seseorang yang benar-benar ada saat ini. Aku mendengar
isak tangis tetapi sepertinya bukan Billy. Misterius. “Aku menyayangimu,
Shyekina.” ucapnya. “Aku juga menyayangimu Billy. Sungguh”. Pelukan itu rasanya
tiba-tiba menghilang. Perlahan terlepas dari tubuhku. Aku membuka mata. Aku
menangis setelah melihat badannya begitu lemas dan matanya tertutup rapat. Aku
terjerit di kala kesunyian itu begitu terasa. Aku berusaha membangunkannya
tetapi ternyata tak dapat. Takdir sudah mencabut nyawanya.
._.
Dunia terasa hampa setelah kepergian
Billy. Seorang malaikat pembuat keramaian dalam hidupku. Sesuai namanya, Billy
Angelson. Bagiku, ia adalah malaikat yang ada bagiku selamanya. Mungkin aku tak
ada di seumur hidupnya, namun malaikat yang awalnya misterius itu ternyata
memberikan arti hidup yang sesungguhnya. Banyak pelajaran yang kudapat dari
dirinya. Pelajaran yang begitu menguatkan.
Satu
hal, walaupun saat ini aku jauh dari dirinya, aku merasakan betapa terasanya
kasih sayangnya dalam hidupku. Mungkin aku bukan seseorang yang berarti dalam
hidupnya. Tetapi bagiku, dia adalah sosok yang berarti dalam hidupku ketika ia
memberikan pesan-pesan istimewa kepadaku sebelum ia pergi meninggalkanku.
Begitu mengasihi dirinya. Billy Angelson.(ey)