Senin, 01 April 2013


ANDAI AKU JADI PRESIDEN
Pesan Singkatku Untuk Indonesia
           
                   Ia duduk di depan televisi mendengar berita yang ada di salah satu channel TV swasta. Banyak bentrok disana-sini, banyak gelandangan dan pengemis di sudut ibukota, ada pula anak jalanan dan preman yang menjamur di kota-kota. Selain itu, banyak pula bencana alam yang terjadi. Korbannya tak sedikit dan tak semua tertolong. Sedangkan disisi lain, para pejabat, pengusaha, dan sederajatnya sedang asyik duduk di ruangan ber-AC, mengendarai mobil keluaran terbaru, bahkan anak mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri menikmati liburan. Perbedaan yang begitu berbeda. Sungguh, bangsa yang membutuhkan perubahan kisah. Terpikirkan olehnya bahwa tak mudah menjadi seorang Presiden. Banyak yang harus dikerjakan.
                  Namanya Juwita Murti. Gadis yang sudah lama tinggal di kota besar yang menjadi pusat metropolitan seperti Jakarta. Kehidupannya hanya bergantung dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya dan usahanya sendiri. Ia bersekolah di salah satu sekolah negeri favorit di kota itu. Tak ada kegiatan lain kecuali berjuang.
                  Bu, Ita berangkat dulu ya ? Sepertinya sudah terlalu siang, nanti Ita terlambat., ucapnya sambil melambaikan tangan kanannya. Terlihat Ibunya juga melambaikan tangan kanannya sembari berkata “Hati-hati anakku, doa Ibu menyertaimu”. Perkataan itu selalu dilontarkan dari mulut Ibunya ketika ia hendak berpergian. Entah mengapa kata-kata itu yang selalu diucapnya.
                  Ia berjalan melewati pasar yang ramai dan kumuh. Bau yang tak sedap membuat baju seragamnya yang awalnya berbau wangi menjadi sedikit bau sayuran. Tetapi tak apalah. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa sampai di sekolah dan mencari ilmu agar ia bisa meraih cita-cita rahasianya.
--o0o--
                  “Halo, Ta. Kau sedang apa kok sepertinya galau begitu?”, ucap lelaki yang bertubuh tinggi agak putih itu. Namanya Gabriel Christian. Dia sahabat Juwita sejak SMP. Kemanapun, mereka selalu bersama. Kecuali saat kelas Juwita lebih awal keluar untuk istirahat atau pulang. Juwita memang tak sekelas dengannya. Tetapi kedekatan Juwita bersamanya seperti orang yang sudah lama kenal.
                  “Halo juga, Ian”, kataku singkat. Juwita lebih suka memanggilnya Ian daripada Tian. Entah kenapa. “Aku tak galau, kok. Mungkin perasaanmu aja”, ucapnya melanjutkan percakapan. “Benar? Oh iya, Ita, sejak kau terkena penyakit itu, kau tidak seperti yang aku kenal sebelumnya. Kau kenapa? Aku khawatir sejak kau divonis dari dokter”, ucap Tian. Tiba-tiba Juwita terkaget mendengarnya. Mengapa ia tiba-tiba berbicara seperti itu di depan Juwita ?? Ia terdiam cukup lama dan …. Kriingg…kriingg… Bel masuk kelas berbunyi..
                   “Ian, aku masuk kelas dulu ya. Sampai berjumpa kembali nanti.”, katanya sembari perlahan-lahan menjauh dari hadapan Ian. Ia tak kuat ketika Ian membahas tentang itu. Juwita hanya tak ingin membuatnya sedih.
                   Selama pelajaran, ia tak dapat berkonsentrasi. Ia memang divonis salah satu penyakit. Tetapi hal itu tak membuatnya menyerah untuk bisa mengubah bangsa ini jika kelak ia menjadi seorang Presiden. Itu mimpi rahasianya. Pelajaran tentang politik dan kewarganegaraan dalam pelajaran PKn membuatnya semakin pusing dan tak sanggup bila ia memaksakan otaknya untuk berpikir. Tetapi, bukankah ini salah satu jalan agar dapat menakklukkan bangsa di bawah kekuasaan rakyat?? Namun, dengan semangat dan tekad yang kuat, ia yakin pasti cita-citanya menjadi seorang Presiden akan terwujud.
--o0o—
                    Di rumah, ia duduk termenung di meja belajar yang tepat berada di dalam kamar. Ia memikirkan tentang apa yang dipertanyakan oleh sahabatnya, Ian. Sungguh miris jika melihat ia merasa sedih. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin ia hanya ingin sekadar tahu tentang Juwita. Juwita merasa bosan di dalam kamar. Lampu belajar yang menyinari mejanya itu tampak terang benderang. Ia membutuhkan udara segar. Akhirnya ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar rumah. Ia memulai untuk berjalan menyusuri kampung.
                 Terdengar di sudut kampung, bayi menangis yang haus akan kasih sayang seorang ibu. Terdengar pula di pos ronda banyak preman yang sedang bermain judi. Entah, betapa betahnya mereka menghabiskan uang demi kepuasan pribadi mereka. Ia terus berjalan dengan sedikit rasa takut. Terlihat pula bocah laki-laki yang berjalan sambil membawa alat musik ‘kentrung’ menuju jalan raya besar yang sangat dekat dengan perempatan. Kakinya melangkah mengikuti mereka.
                 Setelah ia melihat banyak mobil dan kendaraan bermotor, di pinggir jalan terdapat ibu-ibu tua yang pakaiannya tak sebagus yang ia pakai. Sembari membawa wadah yang terbuat dari plastik, mereka berusaha untuk mendapatkan sedikit uang koin untuk mereka makan. Sungguh miris kehidupan bangsa ini. Sedangkan di luar sana, ada beberapa orang yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan pribadi daripada sosial. Pedulikah mereka terhadap kehidupan orang-orang jalanan ini ??
                   Ia tersadar dari mimpi yang buta. Selama ini banyak orang yang menganggap remeh orang-orang yang tinggal dan bertekun di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi itu. Ia tak habis pikir bagaimana seorang Presiden mampu menangani masalah yang tak asing seperti ini. Menangani gelandangan dan pengemis, orang miskin, atau yang lain. Pasti sungguh berat. Di jendela lain, seorang Presiden pasti juga menangani masalah pemerintah yang kian banyak dengan berbagai macam masalahnya. Dari yang sepele hingga hal yang besar. Ditambah lagi kejadian-kejadian yang tak terduga. Begitu beratnya menjadi seorang Presiden. Namun, bagaimana jika ia menjadi seorang Ibu Presiden, memimpin bangsa yang memiliki ribuan pulau, banyak masalah, banyak beban, serta banyak memiliki tanggung jawab.
--o0o—
                  Ia terbangun dari tidurnya pagi itu. Tiba-tiba ia mendengar suara perempuan tua. Kamarnya tiba-tiba terasa mencekam. Namun, ia ingin tahu asal suara itu. Ia membuka tirai jendela dan ia melihat gerombolan perempuan yang di atas kepalanya terdapat barang-barang berat. Ia terdiam. Ia bingung tak mengerti apa artinya.
                 Di sekolah, ia menceritakan semua isi hatinya kepada Ian. Ian pun juga mau mendengar walaupun itu hanya terpaksa. Tetapi ia yakin Ian pasti membantunya. “Ian, bantu aku ya? Ijinkan aku melakukan hal ini sebelum vonis itu benar-benar nyata. Ini tugas mulia”, paksanya kepada Ian. Ia melihat Ian tampak gelisah dengan tawaran gadis itu. Ia hanya bisa berdoa dalam hati s agar Ian mau membantu tugas itu.
                 “Ita, aku mau membantumu tetapi tolong jangan tinggalkan aku dahulu. Aku masih ingin bersahabat denganmu”, ucapnya serius. Perkataan Ian barusan membuat Juwita kaget dan jantungnya menjadi berdebar dengan kencang.
                 “Kau tak perlu memikirkan hal itu. Yang penting adalah bagaimana caranya supaya sebelum aku tak ada aku dapat membawa perubahan besar untuk bangsa ini”, katanya dengan lirih. “Kalau begitu aku mau membantumu”, ucapnya berat. “Oh ya? Ya ampun Ian, terima kasih. Kau memang sahabatku yang paling baik di dunia ini”, rayunya dengan penuh kebahagiaan. Awal yang baik.
--o0o--
                   Ia mengajak Ian ke suatu tempat. Mungkin tempat dimana ia baru melihat. Tempat kumuh di bawah kolong jalan layang. Di situ terdapat banyak anak jalanan yang sedang makan siang. Juwita senang dapat melihat anak-anak itu dapat makan nasi walaupun tak banyak tetapi cukup untuk mengisi perut mereka yang kosong.
                 “Ita, kau serius mengajakku ke tempat seperti ini?”, tanyanya penasaran. “Iya. Bukankah kita sudah sampai di tempat tujuan kita?”, jawab Juwita. Mereka yang bergerombol membersihkan sisa-sisa bungkus makanan yang makanannya sudah lenyap habis mereka makan. Mereka begitu tertib dan terlihat seperti menyenangkan.
                 “Kak, kami sudah selesai makan. Kemudian, apa yang harus kami lakukan?”, tanya salah seorang anak jalanan. Sepertinya ia yang paling tua di antara anak jalanan yang lain. “Kita mau belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kau mau?”,ucapnya kepada anak jalanan itu. Terlihat ia dan teman-temannya berunding. “Iya kak. Kita mau sekolah”, katanya dengan senyum yang manis.
                  Juwita mengajarkan alfabet dari A hingga Z dan angka dari 1 hingga 20. Mereka antusias sekali. Sekali-kali Ian yang mengajar. Ian juga tak kalah semangatnya dengan anak jalanan ini. Sudah terlihat jelas dari raut wajahnya.
                 Menjadi Presiden memang bukan hal mudah. Mungkin Presiden juga memikirkan anak jalanan, pengemis, bahkan orang miskin yang hanya tinggal di gubuk kecil pinggir sungai, rel kereta api, maupun yang tinggal di bawah kolong jembatan. Namun Presiden tak bisa jika ia bekerja sendiri untuk menyemangati anak jalanan yang membutuhkan pendidikan. Jika kita sebagai anak-anak bangsa yang berpendidikan, seharusnya kita dapat memberi semangat anak jalanan.
                  Juwita dan Ian cukup puas dengan apa yang mereka berdua ajarkan. Hal yang kecil untuk bisa membuat perubahan sudah mereka lakukan walau masih langkah pertama. Tetapi semangat mereka tak sampai di sini saja. Mereka terus berjuang untuk dapat membawa teman-teman kami yang lain untuk terjun langsung di lapangan.
                 “Ita, terima kasih untuk hari ini. Aku bangga denganmu”, ucap Ian sembari ia memegang es teh yang ada di plastik itu. Mereka memang capek. Namun mereka juga bahagia. “Iya, Ian. Justru aku yang semestinya berterima kasih kepadamu. Kau membantuku dalam menyelesaikan misiku yang pertama dan sederhana ini”, jawab Juwita dengan polos. “Bukankah itu gunanya seorang sahabat?”, tanyanya. “Ya, benar sekali”, ucap Juwita. Tiba-tiba hembusan nafas Juwita tak teratur. Dadanya sesak sekali untuk bernafas. Ian melihat keadaan Juwta yang seperti itu dan segera menolongnya. “Ita, kau kenapa? Ya Tuhan tolong Ita.”, ucapnya dengan sedikit takut. Juwita tiba-tiba jatuh dan segera ia membawanya pulang. Ia memanggil tukang becak untuk mengantarnya ke rumah.
--o0o--
                  Mata Juwita melihat lampu yang bersinar sangat terang. Ia sudah membuka matanya. Ia melihat Ian menangis mengeluarkan air mata. Ia mendongakkan dagunya. “Ian, kau kenapa menangis?”, tanyanya. “Aku tak siap kau pergi…”, ucapnya dengan nada yang agak serak. “Tuhan yang mengatur umur manusia, Ian. Kau percaya itu?”, ucapku lirih. “Ya, aku percaya”, katanya.
                  Juwita berusaha untuk bangun dan makan bubur ayam yang dibelikan Ibunya. Mungkin ia  terlalu capek. Sehingga membuatnya menjadi lemas. Karena banyaknya udara kotor yang ia hirup, mungkin ia sesak. Penyakit itu memang berbahaya. Tetapi ia yakin pasti sembuh.
                 “Ita, untuk sementara, besok kau berhenti untuk mengajar anak jalanan itu.  Biar aku dan anak lain saja yang mengajar. Aku tahu bahwa kau tak ingin kita saja yang membantu mereka mencari ilmu”, kata Ian sambil menoleh ke hadapan Juwita yang masih terbaring sembari mengunyah sedikit demi sedikit. Ia tampaknya serius untuk mengajak teman-temannya mengajar anak jalanan.
                 “Kau yakin berhasil?”, tanyanya singkat dan tampak sedikit ada keraguan. “Ya, aku yakin. Lihat saja besok”, ucapnya. “Oke, aku percayakan semuanya kepadamu”, katanya singkat, padat, dan jelas.
--o0o—
                  Pagi ini badannya sudah mulai tak sakit seperti semalam. Namun, ia masih belum dapat pergi ke sekolah maupun pergi mengunjungi anak jalanan seperti kemarin. Juwita memikirkan kondisi tubuhnya. Ia merasa akhir-akhir ini merasa sangat lelah. Dadanya juga sering kambuh. Ia sedikit khawatir dan takut.
                  “Tuhan, aku merasa lebih lemah. Aku belum siap untuk pergi meninggalkan dunia ini. Aku ingin masih dapat bertemu dengan anak jalanan. Aku menyayangi mereka seperti aku mencintai bangsaku ini. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Cita-cita untuk bisa merasakan bagaimana menjadi seorang Presiden. Aku tahu  tak mudah apalagi aku sedang bersama dengan penyakit ini. Tuhan, tolong aku. Mampukan aku”, ucap Juwita dalam hati. Tiba-tiba matanya meneteskan air mata. Tangannya gemetar dan jantungnya berdebar dengan kencang. Ia menghapus air matanya secara tiba-tiba saat ia melihat Ibunya datang menghampiri Juwita.
                 “Juwita kenapa kau menangis, Nak?, ucap Ibunya samil membawakan mangkuk berisi sup kesukaan Juwita. “Juwita takut, Bu”, jawabnya. “Takut kenapa? Hidup ada di tangan Tuhan. Jadi Tuhan yang menentukan kita untuk hidup atau tidak. Ibu juga takut tetapi Ibu harus menerima takdir yang diberikan Tuhan kepada kita.”, ucap Ibu panjang lebar.
                “Juwita takut tak bisa membawa perubahan untuk bangsa ini”, ucapnya. “Juwita tak perlu takut tentang hal itu. Itu bukan menjadi tugas Juwita saja tetapi orang lain juga begitu. Termasuk Ibu.”, ucap wanita yang umurnya sudah tua namun sifat bijaknya masih terlihat sebagai wanita dan Ibu Juwita. “Iya, Bu. Juwita mengerti.”, ucap Juwita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melanjutkan sarapannya. Ia tiba-tiba memikirkan Ian, sahabat baiknya itu.
--o0o--
                  Lelaki itu menyusuri lorong sekolahnya dengan wajah lesu tak berdaya. Teman-temannya bingung melihat wajah Ian yang tak lesu itu. Padahal biasanya Ian adalah salah satu murid yang selalu menyapa teman-temannya jika saat ia datang. Namun, teman-temannya bertanya-tanya kenapa Ian seperti itu.
                  “Tian, kau kenapa? Murung sekali mukamu itu? Kau sakit?”, tanya salah seorang teman kelasnya. “Bukan aku yang sakit. Tetapi Juwita. Dia lemah di rumah. Hmm, kau mau ikut denganku tidak? Kau ajak teman-teman siapa yang mau ikut aku”, tawar Ian. “Kemana?”, tanya temannya itu sekali lagi. “Sudahlah ikut aku saja”.
                  Teman-teman Ian semua bingung. Namun teman Ian menawarkan kepada teman-teman yang lain. Yang ikutpun tak sedikit tetapi banyak. Ian tersenyum melihat simpati teman-temannya. Ian juga yakin pasti misi seorang Juwita akan berhasil dan lebih berhasil.
                   Kriinggg…..Kriiinggg…. bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Ian cepat-cepat mengumpulkan teman-temannya. Ian menyuruh teman perempuannya untuk membeli roti sebanyak-banyaknya. Setelah semua siap, mereka berjalan dari sekolah menuju tempat yang dituju. Semua temannya bingung. Jalan yang dilalui adalah rel kereta api, jalan raya besar kemudian masuk ke kolong-kolong jembatan. Teman-temannya tersenyum melihat tingkah Ian.
                  Anak-anak jalanan yang melihat Ian yang membawa kantong plastik segera berlarian menuju sebuah tempat yang lumayan luas. Mereka memberi salam kepada Ian dan teman-temannya. Teman perempuan Ian membagi-bagikan roti yang tadi sudah di beli. Teman-teman Ian semua tersenyum. Ada juga yang sedikit demi sedikit mengusap matanya yang sudah mengeluarkan air mata. Ada pula yang duduk di sebelah anak jalanan yang kira-kira berumur 3 tahun. Sungguh bahagia melihat anak jalanan bahagia.
                  “Adik-adik, Kak Ian membawa teman Kakak. Banyak ya? Nah, sekarang mari kita memulai belajar kita hari ini.”, ucap Ian layaknya sebagai guru di situ. “Kak, teman Kakak yang satunya kemana? Yang cantik itu”,ucap salah seorang anak jalanan.
                  “Hmm, Kak Juwita sedang sakit. Doakan saja semoga sembuh”, jawab Ian dan tiba-tiba air matanya jatuh. Teman-temannya mencoba menghibur Ian. Teman-teman Ian salut kepada apa yang diperbuat Juwita untuk anak jalanan ini. Semua teman Ian antusias sekali mengikuti belajar tersebut. Ada yang mengajarkan menulis. Ada yang mengajarkan membaca. Semua antusias. Teman perempuan Ian hilang tiba-tiba. Tak tahu kemana. Ian bingung saat melihat beberapa teman-temannya tidak ada. Tak lama, teman-temannya membawa kardus besar. Kardus itu berisi nasi bungkus dan air minum. Sungguh perbuatan yang tak terduga. Ian tersenyum bangga. Sepulang dari mengajar anak jalanan, mereka pergi ke rumah Juwita. Disana, Juwita tersenyum melihat perbuatan teman-temannya. Ia menitikkan air mata. Ia bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka semua. Teman perempuan Ian memeluk Juwita dan mulai menangis.
                 Beberapa hari kemudian Juwita sudah mulai pulih. Ia bersama-sama dengan segerombol teman-temannya pergi mengajar anak jalanan. Setiap harinya teman yang diajak mulai bertambah. Selain anak jalanan, mereka memberi sembako kepada orang-orang yang tak mampu. Sunggguh betapa mulianya perbuatan mereka. Walaupun rata-rata anak jurusan IPA, namun jiwa sosialnya tak kalah dengan anak jurusan IPS.
                 “Teman-teman, terima kasih telah membantuku untuk misi ini. Aku tak seberhasil ini tanpa kalian. Aku bangga. Jika seandainya aku tiada, terus lanjutkan. Aku sudah merasakan sebagai seorang Presiden. Presiden yang tak peduli dengan kehidupan politik saja, tetapi juga peduli terhadap kehidupan sosial. Ajak orang banyak untuk bisa berbagi kepada orang lain yang membutuhkan kita. Aku menyayangi segalanya di dunia ini terlebih anak jalanan, pengemis, orang tak mampu serta yang lain”, ucap Juwita. Semua memeuk Juwita. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan ia terjatuh. Teman-temannya membawa pergi ke Rumah Sakit namun nyawanya tak tertolong. Juwita telah menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk terakhir kalinya di depan temannya.
                   Juwita yang terkena penyakit kanker paru-paru telah tiada. Ia tiada dengan tenang. Perbuatan yang telah ia lakukan sudah selesai.”Jika aku menjadi  seorang Presiden, aku ingin bisa keliling jalanan tanpa dikawal, mencoba memakai pakaian bekas, tak makan seharian, memakmurkan rakyatku, kejahatan hilang bahkan tak ada korupsi, terlebih menjadi seorang Presiden yang jujur, bijak, dan setia kepada rakyat terutama takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”, ucapnya dalam hati sebelum ia memulai misi itu, beberapa minggu yang lalu. Pesan singkat dari Juwita untuk Bangsa Indonesia.
            “Membawa perubahan bangsa tidak selalu menjadi seorang pemimpin seperti Presiden, tetapi dimulai dari diri sendiri. Dari hal kecil, dari lingkungan sekitar kita selagi kita memiliki waktu sebagai generasi muda berpendidikan” (EY)
--SELESAI--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar