Selasa, 17 Juni 2014

SEPUCUK SURAT PERSAHABATAN


          Kulangkahkan kakiku menuju sebuah bangunan klasik dengan pagar hitam bercorak bunga yang menjulang tinggi. Kurasakan efek sinar matahari yang hangat membungkus tubuhku yang dingin. Angin yang terhembus sesekali menyibakkan rambutku yang panjang yang terurai sepunggung. Dengan rasa optimis aku berlari kecil menaikki beberapa anak tangga yang ada di depan gedung itu dan mulai masuk ke dalamnya. Wow. Speechless. Diam tanpa kata. Amazing. Wonderful. Menakjubkan. Hanya itu yang bisa terpikirkan oleh benakku.

            Tanpa ragu-ragu aku memasuki lobby yang terdapat beberapa sofa empuk yang berwarna cokelat muda dengan meja kaca di tengahnya sebagai ruang tunggu. Aku teringat bahwa ruang Kepala Sekolah ada di lantai dua. Akhirnya, kupaksa melangkahkan kaki menuju lift. Ups. Aku menginjak sesuatu.

            “Apa ini? Hmm..Tak ada orang sama sekali.” kataku dalam hati sembari mengernyitkan dahi. Surat Persahabatan. “Aneh.” pikirku.

            Aku memegang surat itu—Surat Persahabatan dengan penuh penasaran. Tak lama, kusimpan surat itu ke dalam tas dan aku memilih untuk melanjutkan perjalananku menuju Ruang Kepala Sekolah.

._.

            Aku memasuki kelas XI-IPA-2 yang di dalamnya terdapat banyak siswa. Disana aku memperkenalkan diri sebagai siswa baru di SMA Lentera Kasih. Aku minder. Aku tak tahu harus berbicara apa di depan mereka yang tak ku kenal. Aku menunduk.

            “Pagi guys. Perkenalkan. Namaku Neyland. Ya. Neyland Ahira. Aku senang bisa bertemu dengan kalian. Have a nice day, guys!” ucapku dengan lantang. Mereka tersenyum. Sesekali kulirik beberapa siswa yang melambaikan tangannya. Aku tergelitik.

            Aku duduk di bangku kosong dekat jendela. Anginnya sejuk dan segar membuatku terasa sedikit mengantuk. Jam pelajaran pertama dimulai. Tetapi tak lama bel istirahat berbunyi dan aku teringat sesuatu. Aku mencari surat yang kutemukan di depan lift tadi. Sepertinya ini milik seseorang. Tapi siapa? Ketika aku ingin membukanya terdengar langkah kaki seseorang dari arah depan. Aku menunduk setengah takut.

            “Hai. Siswa baru?” sapanya lirih. Aku bergegas menyembunyikan surat itu. Dia tersenyum lebar. Lelaki itu membuka kacamata hitam yang menutupi kedua matanya.

            “Hai juga. Nngg, iya aku siswa baru. Kau? Siswa kelas ini juga?” tanyaku pada lelaki itu. “Tidak. Aku XI-IPA-1.” singkatnya.

            “Oh.” jawabku. Aku memandangnya. Dia tersenyum dan kemudian duduk di depanku.
“Siapa namamu?” tanyanya. “Neyland. Kau?”

            “Joseph.”

            Kami berdua diam tak berkutik. Aku bingung ketika ia menatap mataku tajam. Misterius. Joseph. Neyland. Joseph. Neyland. Aneh. Ya. Ada yang aneh. Aku diam.
“Ney, ikut aku yuk.” tawarnya sambil menarik tanganku dengan kuat hingga kakiku terbentuk kaki meja yang begitu keras. Sial. Joseph mengajakku ke suatu tempat. Ia mengajakku ke sebuah taman dimana ada beberapa air terjun kecil yang sengaja dibuat untuk menciptakan suara gemericik air yang segar dan sejuk. Aku tertawa.

“Joseph, apa maksudnya kau mengajakku kemari?” ucapku ling-lung. “Aku suka suara air. Membuatku nyaman dan ingin terus ada disini hingga sepulang sekolah nanti.”

“Joseph, Aku siswi baru dan mengapa kau begitu akrab denganku hingga kau mengajakku kesini? Tidak ada siswa lain?” tanyaku panjang lebar.

“Neyland, aku tak peduli siapa kau. Aku hanya ingin kau menjadi sahabatku. Itu saja.”
“Tapi?” selaku. Aku diam. “Tapi apa? Karena kita baru saja mengenal?” Aku mengangguk.
“Kau akan mengerti apa yang menjadi maksudku.” Aku bingung.

._.

            Beberapa bulan kemudian.......
            Entah mengapa aku bisa bertemu dengan Joseph. Seperti takdir. Semenjak aku mengenalnya hingga sekarang, aku merasa memiliki seorang teman yang selalu ada untukku. Lalu apa tujuannya dia mengajakku untuk menjadi seorang SAHABAT untuknya? Misterius.

            Aku bahagia memiliki sahabat seperti Joseph. Walaupun pada awalnya kami hanya berkenalan, pergi ke taman, dan bermain bersama. Tetapi sampai saat ini aku merasa bahwa dia sudah mengetahui banyak hal tentang diriku. Aku menghembuskan nafas panjang. Hhh.

            Aku berjalan dari lobby untuk naik kelantai 2 melalui lift. Aku teringat sesuatu. Selama beberapa bulam aku melewati lift ini aku tak ingat bahwa aku belum membaca surat itu sama sekali. Bahkan, aku lupa menyimpannya. Dimana surat itu sekarang?

._.

            Malam yang dingin kupikir. Angin berhembus lumayan kencang membuat bulu kudukku merinding. Dingin. Aku mengelus-elus lenganku agar hangat tetapi tetap saja merasa dingin. Aku kembali masuk ke kamarku dan mengiringkan langkahku untuk turun ke bawah melewati beberapa anak tangga yang ada di rumahku. Entah apa yang kupikirkan sehingga aku tersandung dan tubuhku lemas tak berdaya setelah tubuhku menggelinding dari lantai atas. Kepalaku membentur sesuatu. Aku hanya bisa dalam hati ketika kejadian itu.

            Telingaku hanya bisa mendengar teriakan-teriakan keras dan suara roda yang menggelinding. Entah aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Apa aku gegar otak? Apa kepalaku bocor? Atau apalah. Aku tak tahu. Hingga tak lama aku sadarkan diri. Aku merasakan ada yang aneh pada diriku dan ternyata mataku terbalut dengan perban. Aku takut.

            “Joseph.” Aku memanggil nama itu. Nama yang indah ketika ia memperkenalkan dirinya beberapa bulan lampau. “Aku tak bisa melihat wajahmu. Aku kenapa, Jos?” Aku menangis. Dia memelukku. “Apa aku buta? Aku sudah merasa melihat. Tetapi mengapa gelap? Bukankah masih siang? Aku kenapa, Jos?” Aku teriak menangis. Pelukannya makin erat.

            “Semuanya baik-baik saja, Ney. Percayalah. Tak usah menangis. Masih ada aku.” ucapnya lirih. Aku semakin menangis.

            Aku merasa aneh dalam diriku. Aku divonis buta oleh dokter. Aku tak bisa menatap Joseph. Tak bisa melihat Mama dan Papa. Tak bisa melihat teman-temanku yang lain. Bahkan aku tak bisa melihat diriku sendiri di depan kaca ketika berdandan. Semuanya terganti dengan gelap. Tak peduli itu pagi atau siang ataupun malam. Gelap.

._.

            Siang itu aku mendengar Joseph kecelakaan. Oh Tuhan. Apa pelukan itu yang terakhir? Aku menangis. Aku bingung tak karuan. Aku tak tahu. Aku tak bisa melihatnya. Berjam-jam aku hanya bisa terbaring di kasur itu menunggu info mengenai Joseph. Aku masih menangis. Tak lama aku dibius oleh salah seorang suster dan aku hanya bisa berbicara dalam hati dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh dokter dan asistennya.

            Setelah beberapa jam, mataku kembali dibuka setelah di perban. Aku melihat. Ya. Terlihat banyak orang di sekitarku. Ada Papa, Mama, adikku, dan beberapa temanku. Joseph. Ya. Kemana dia? Aku kembali menangis. Mama memelukku.

            “Ma, Joseph kemana?” isakku. Mama juga menangis dan mulai memegang tanganku.
“Joseph tadi siang kecelakaan ketika ia pulang menjengukmu tadi. Lalu ia kritis dan sadar hanya beberapa menit dan ia mengatakan bahwa ia ingin mendonorkan korneanya untukmu. Lalu tak lama detak jantungnya terhenti. Ia sudah pulang ke rumah Bapa.” Aku menangis.

._.

            Sebelum pemakamannya, aku sempat melihat wajahnya yang pucat. Wajahnya terlihat bahagia walaupun aku tak bisa melihat mukanya yang tersenyum seperti biasanya. Di depanku, hanya ada sebuah makam dengan penuh taburan bunga di atasnya. Aku mengeluarkan sepucuk surat yang kutemukan ketika pertama aku masuk sekolah.

Untuk siapa saja yang menemukan surat ini...
Terima kasih telah menemukan surat ini, Surat Persahabatan..
Tujuanku menulis surat ini adalah ingin mengajakmu untuk menjadi sahabatku..
Siapapun kau saat ini, kau adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi sahabatku sebelum Tuhan menghentikan kehidupanku..
You’re special..
Because you’re my BESTFRIEND..
Setiap canda, tawa, dan moment itu akan teringat sampai kapanpun..
Meski waktu tak bisa diulang, tetapi kenangan akan mengajak kita untuk kembali ke waktu yang lampau..
Kau tahu?
Masa yang paling indah adalah masa SMA..
Karena aku bisa mengenalmu..
sebagai
SAHABAT..
                                                                                                                                              -Joseph-

           
            Semuanya sudah berlalu. Ternyata, surat itu tahu tentang takdir. Benar, SMA adalah masa paling indah bagi semua orang yang pernah mengalaminya. Aku pun juga begitu. (ey)