Tanpa
ragu-ragu aku memasuki lobby yang
terdapat beberapa sofa empuk yang berwarna cokelat muda dengan meja kaca di
tengahnya sebagai ruang tunggu. Aku teringat bahwa ruang Kepala Sekolah ada di
lantai dua. Akhirnya, kupaksa melangkahkan kaki menuju lift. Ups. Aku menginjak
sesuatu.
“Apa
ini? Hmm..Tak ada orang sama sekali.” kataku dalam hati sembari mengernyitkan
dahi. Surat Persahabatan. “Aneh.” pikirku.
Aku
memegang surat itu—Surat Persahabatan dengan penuh penasaran. Tak lama,
kusimpan surat itu ke dalam tas dan aku memilih untuk melanjutkan perjalananku
menuju Ruang Kepala Sekolah.
._.
Aku
memasuki kelas XI-IPA-2 yang di dalamnya terdapat banyak siswa. Disana aku
memperkenalkan diri sebagai siswa baru di SMA Lentera Kasih. Aku minder. Aku
tak tahu harus berbicara apa di depan mereka yang tak ku kenal. Aku menunduk.
“Pagi
guys. Perkenalkan. Namaku Neyland.
Ya. Neyland Ahira. Aku senang bisa bertemu dengan kalian. Have a nice day, guys!” ucapku dengan lantang. Mereka tersenyum.
Sesekali kulirik beberapa siswa yang melambaikan tangannya. Aku tergelitik.
Aku
duduk di bangku kosong dekat jendela. Anginnya sejuk dan segar membuatku terasa
sedikit mengantuk. Jam pelajaran pertama dimulai. Tetapi tak lama bel istirahat
berbunyi dan aku teringat sesuatu. Aku mencari surat yang kutemukan di depan
lift tadi. Sepertinya ini milik seseorang. Tapi siapa? Ketika aku ingin
membukanya terdengar langkah kaki seseorang dari arah depan. Aku menunduk
setengah takut.
“Hai.
Siswa baru?” sapanya lirih. Aku bergegas menyembunyikan surat itu. Dia
tersenyum lebar. Lelaki itu membuka kacamata hitam yang menutupi kedua matanya.
“Hai
juga. Nngg, iya aku siswa baru. Kau? Siswa kelas ini juga?” tanyaku pada lelaki
itu. “Tidak. Aku XI-IPA-1.” singkatnya.
“Oh.”
jawabku. Aku memandangnya. Dia tersenyum dan kemudian duduk di depanku.
“Siapa namamu?” tanyanya.
“Neyland. Kau?”
“Joseph.”
Kami
berdua diam tak berkutik. Aku bingung ketika ia menatap mataku tajam. Misterius.
Joseph. Neyland. Joseph. Neyland. Aneh. Ya. Ada yang aneh. Aku diam.
“Ney, ikut aku
yuk.” tawarnya sambil menarik tanganku dengan kuat hingga kakiku terbentuk kaki
meja yang begitu keras. Sial. Joseph mengajakku ke suatu tempat. Ia mengajakku
ke sebuah taman dimana ada beberapa air terjun kecil yang sengaja dibuat untuk
menciptakan suara gemericik air yang segar dan sejuk. Aku tertawa.
“Joseph, apa
maksudnya kau mengajakku kemari?” ucapku ling-lung. “Aku suka suara air. Membuatku
nyaman dan ingin terus ada disini hingga sepulang sekolah nanti.”
“Joseph, Aku
siswi baru dan mengapa kau begitu akrab denganku hingga kau mengajakku kesini?
Tidak ada siswa lain?” tanyaku panjang lebar.
“Neyland, aku
tak peduli siapa kau. Aku hanya ingin kau menjadi sahabatku. Itu saja.”
“Tapi?” selaku. Aku diam. “Tapi
apa? Karena kita baru saja mengenal?” Aku mengangguk.
“Kau akan mengerti apa yang
menjadi maksudku.” Aku bingung.
._.
Beberapa
bulan kemudian.......
Entah
mengapa aku bisa bertemu dengan Joseph. Seperti takdir. Semenjak aku mengenalnya
hingga sekarang, aku merasa memiliki seorang teman yang selalu ada untukku. Lalu
apa tujuannya dia mengajakku untuk menjadi seorang SAHABAT untuknya? Misterius.
Aku
bahagia memiliki sahabat seperti Joseph. Walaupun pada awalnya kami hanya berkenalan,
pergi ke taman, dan bermain bersama. Tetapi sampai saat ini aku merasa bahwa dia
sudah mengetahui banyak hal tentang diriku. Aku menghembuskan nafas panjang.
Hhh.
Aku
berjalan dari lobby untuk naik kelantai 2 melalui lift. Aku teringat sesuatu. Selama
beberapa bulam aku melewati lift ini aku tak ingat bahwa aku belum membaca
surat itu sama sekali. Bahkan, aku lupa menyimpannya. Dimana surat itu sekarang?
._.
Malam
yang dingin kupikir. Angin berhembus lumayan kencang membuat bulu kudukku
merinding. Dingin. Aku mengelus-elus lenganku agar hangat tetapi tetap saja
merasa dingin. Aku kembali masuk ke kamarku dan mengiringkan langkahku untuk
turun ke bawah melewati beberapa anak tangga yang ada di rumahku. Entah apa
yang kupikirkan sehingga aku tersandung dan tubuhku lemas tak berdaya setelah
tubuhku menggelinding dari lantai atas. Kepalaku membentur sesuatu. Aku hanya
bisa dalam hati ketika kejadian itu.
Telingaku
hanya bisa mendengar teriakan-teriakan keras dan suara roda yang menggelinding.
Entah aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Apa aku gegar otak? Apa kepalaku
bocor? Atau apalah. Aku tak tahu. Hingga tak lama aku sadarkan diri. Aku
merasakan ada yang aneh pada diriku dan ternyata mataku terbalut dengan perban.
Aku takut.
“Joseph.”
Aku memanggil nama itu. Nama yang indah ketika ia memperkenalkan dirinya
beberapa bulan lampau. “Aku tak bisa melihat wajahmu. Aku kenapa, Jos?” Aku
menangis. Dia memelukku. “Apa aku buta? Aku sudah merasa melihat. Tetapi
mengapa gelap? Bukankah masih siang? Aku kenapa, Jos?” Aku teriak menangis.
Pelukannya makin erat.
“Semuanya
baik-baik saja, Ney. Percayalah. Tak usah menangis. Masih ada aku.” ucapnya
lirih. Aku semakin menangis.
Aku
merasa aneh dalam diriku. Aku divonis buta oleh dokter. Aku tak bisa menatap
Joseph. Tak bisa melihat Mama dan Papa. Tak bisa melihat teman-temanku yang
lain. Bahkan aku tak bisa melihat diriku sendiri di depan kaca ketika
berdandan. Semuanya terganti dengan gelap. Tak peduli itu pagi atau siang
ataupun malam. Gelap.
._.
Siang
itu aku mendengar Joseph kecelakaan. Oh Tuhan. Apa pelukan itu yang terakhir?
Aku menangis. Aku bingung tak karuan. Aku tak tahu. Aku tak bisa melihatnya.
Berjam-jam aku hanya bisa terbaring di kasur itu menunggu info mengenai Joseph.
Aku masih menangis. Tak lama aku dibius oleh salah seorang suster dan aku hanya
bisa berbicara dalam hati dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh dokter dan
asistennya.
Setelah
beberapa jam, mataku kembali dibuka setelah di perban. Aku melihat. Ya.
Terlihat banyak orang di sekitarku. Ada Papa, Mama, adikku, dan beberapa
temanku. Joseph. Ya. Kemana dia? Aku kembali menangis. Mama memelukku.
“Ma,
Joseph kemana?” isakku. Mama juga menangis dan mulai memegang tanganku.
“Joseph tadi siang kecelakaan
ketika ia pulang menjengukmu tadi. Lalu ia kritis dan sadar hanya beberapa
menit dan ia mengatakan bahwa ia ingin mendonorkan korneanya untukmu. Lalu tak
lama detak jantungnya terhenti. Ia sudah pulang ke rumah Bapa.” Aku menangis.
._.
Sebelum
pemakamannya, aku sempat melihat wajahnya yang pucat. Wajahnya terlihat bahagia
walaupun aku tak bisa melihat mukanya yang tersenyum seperti biasanya. Di
depanku, hanya ada sebuah makam dengan penuh taburan bunga di atasnya. Aku mengeluarkan
sepucuk surat yang kutemukan ketika pertama aku masuk sekolah.
Untuk
siapa saja yang menemukan surat ini...
Terima
kasih telah menemukan surat ini, Surat Persahabatan..
Tujuanku
menulis surat ini adalah ingin mengajakmu untuk menjadi sahabatku..
Siapapun
kau saat ini, kau adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi sahabatku sebelum
Tuhan menghentikan kehidupanku..
You’re
special..
Because
you’re my BESTFRIEND..
Setiap
canda, tawa, dan moment itu akan teringat sampai kapanpun..
Meski
waktu tak bisa diulang, tetapi kenangan akan mengajak kita untuk kembali ke
waktu yang lampau..
Kau
tahu?
Masa
yang paling indah adalah masa SMA..
Karena
aku bisa mengenalmu..
sebagai
SAHABAT..
-Joseph-
Semuanya sudah
berlalu. Ternyata, surat itu tahu tentang takdir. Benar, SMA adalah masa paling
indah bagi semua orang yang pernah mengalaminya. Aku pun juga begitu. (ey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar