ANDAI
AKU JADI PRESIDEN
“Pesan Singkatku Untuk Indonesia”
Ia
duduk di depan
televisi mendengar berita yang ada di salah satu channel TV swasta. Banyak
bentrok disana-sini, banyak gelandangan dan pengemis di sudut ibukota, ada pula
anak jalanan dan preman yang menjamur di kota-kota. Selain itu, banyak pula
bencana alam yang terjadi. Korbannya tak
sedikit dan tak semua tertolong. Sedangkan
disisi lain, para pejabat, pengusaha, dan
sederajatnya sedang asyik duduk di ruangan ber-AC, mengendarai mobil keluaran
terbaru, bahkan anak mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri menikmati liburan.
Perbedaan yang begitu berbeda. Sungguh, bangsa yang membutuhkan perubahan kisah. Terpikirkan olehnya bahwa
tak mudah menjadi seorang Presiden. Banyak yang harus dikerjakan.
Namanya Juwita Murti. Gadis yang sudah lama tinggal di kota besar yang
menjadi pusat metropolitan seperti Jakarta. Kehidupannya hanya bergantung dari
apa yang dilakukan oleh orang tuanya dan usahanya sendiri. Ia bersekolah di
salah satu sekolah negeri favorit di kota itu. Tak ada kegiatan lain kecuali
berjuang.
“Bu, Ita berangkat dulu ya ? Sepertinya sudah
terlalu siang, nanti Ita terlambat.”, ucapnya sambil melambaikan
tangan kanannya.
Terlihat Ibunya
juga melambaikan tangan kanannya sembari berkata “Hati-hati anakku, doa Ibu
menyertaimu”. Perkataan itu selalu dilontarkan dari mulut Ibunya ketika ia hendak berpergian.
Entah mengapa kata-kata itu yang selalu diucapnya.
Ia berjalan melewati pasar yang ramai dan kumuh. Bau yang
tak sedap membuat baju seragamnya yang awalnya berbau wangi menjadi sedikit bau
sayuran. Tetapi tak apalah. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa sampai di
sekolah dan mencari ilmu agar ia bisa meraih cita-cita rahasianya.
--o0o--
“Halo, Ta. Kau sedang apa kok
sepertinya galau begitu?”, ucap lelaki yang bertubuh tinggi agak putih itu.
Namanya Gabriel Christian. Dia sahabat Juwita sejak SMP. Kemanapun, mereka selalu
bersama. Kecuali saat kelas Juwita lebih awal keluar untuk istirahat atau
pulang. Juwita memang tak sekelas dengannya. Tetapi kedekatan Juwita bersamanya
seperti orang yang sudah lama kenal.
“Halo juga, Ian”, kataku
singkat. Juwita lebih suka memanggilnya Ian daripada Tian. Entah kenapa. “Aku tak
galau, kok. Mungkin perasaanmu aja”, ucapnya melanjutkan percakapan. “Benar? Oh
iya, Ita, sejak kau terkena penyakit itu, kau tidak seperti yang aku kenal
sebelumnya. Kau kenapa? Aku khawatir sejak kau divonis dari dokter”, ucap Tian.
Tiba-tiba Juwita terkaget mendengarnya. Mengapa ia tiba-tiba berbicara seperti
itu di depan Juwita ?? Ia terdiam cukup lama dan …. Kriingg…kriingg… Bel masuk
kelas berbunyi..
“Ian, aku masuk kelas dulu
ya. Sampai berjumpa kembali nanti.”, katanya sembari perlahan-lahan menjauh
dari hadapan Ian. Ia tak kuat ketika Ian membahas tentang itu. Juwita hanya tak
ingin membuatnya sedih.
Selama pelajaran, ia tak
dapat berkonsentrasi. Ia memang divonis salah satu penyakit. Tetapi hal itu tak
membuatnya menyerah untuk bisa mengubah bangsa ini jika kelak ia menjadi seorang
Presiden. Itu mimpi rahasianya. Pelajaran tentang politik dan kewarganegaraan
dalam pelajaran PKn membuatnya semakin pusing dan tak sanggup bila ia
memaksakan otaknya untuk berpikir. Tetapi, bukankah ini salah satu jalan agar
dapat menakklukkan bangsa di bawah kekuasaan rakyat?? Namun, dengan semangat
dan tekad yang kuat, ia yakin pasti cita-citanya menjadi seorang Presiden akan
terwujud.
--o0o—
Di rumah, ia duduk
termenung di meja belajar yang tepat berada di dalam kamar. Ia memikirkan tentang apa yang dipertanyakan oleh sahabatnya, Ian.
Sungguh miris jika melihat ia merasa sedih. Sudahlah, jangan terlalu
dipikirkan. Mungkin ia hanya ingin sekadar tahu tentang Juwita. Juwita merasa
bosan di dalam kamar. Lampu belajar yang menyinari mejanya itu tampak terang
benderang. Ia membutuhkan udara segar. Akhirnya ia beranjak dari tempat
tidurnya dan berjalan keluar rumah. Ia memulai untuk berjalan menyusuri
kampung.
Terdengar
di sudut kampung, bayi menangis yang haus akan kasih sayang seorang ibu.
Terdengar pula di pos ronda banyak preman yang sedang bermain judi. Entah,
betapa betahnya mereka menghabiskan uang demi kepuasan pribadi mereka. Ia terus berjalan dengan
sedikit rasa takut. Terlihat pula bocah laki-laki yang berjalan sambil membawa
alat musik
‘kentrung’ menuju jalan raya besar yang sangat dekat dengan perempatan. Kakinya melangkah
mengikuti mereka.
Setelah
ia
melihat banyak mobil dan kendaraan bermotor, di pinggir jalan terdapat ibu-ibu
tua yang pakaiannya tak sebagus yang ia
pakai. Sembari membawa wadah yang terbuat dari plastik, mereka berusaha untuk mendapatkan sedikit uang koin
untuk mereka makan. Sungguh miris kehidupan bangsa ini. Sedangkan di luar sana,
ada beberapa orang yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan pribadi daripada
sosial. Pedulikah mereka terhadap kehidupan orang-orang jalanan ini ??
Ia tersadar dari mimpi yang
buta. Selama ini banyak orang yang menganggap remeh orang-orang yang tinggal
dan bertekun di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi itu. Ia tak habis pikir
bagaimana seorang Presiden mampu menangani masalah yang tak asing seperti ini.
Menangani gelandangan dan pengemis, orang miskin, atau yang lain. Pasti sungguh
berat. Di jendela lain, seorang Presiden pasti juga menangani masalah
pemerintah yang kian banyak dengan berbagai macam masalahnya. Dari yang sepele
hingga hal yang besar. Ditambah lagi kejadian-kejadian yang tak terduga. Begitu
beratnya menjadi seorang Presiden. Namun, bagaimana jika ia menjadi seorang Ibu
Presiden, memimpin bangsa yang memiliki ribuan pulau, banyak masalah, banyak
beban, serta banyak memiliki tanggung jawab.
--o0o—
Ia terbangun dari tidurnya
pagi itu. Tiba-tiba ia mendengar suara perempuan tua. Kamarnya tiba-tiba terasa
mencekam. Namun, ia ingin tahu asal suara itu. Ia membuka tirai jendela dan ia
melihat gerombolan perempuan yang di atas kepalanya terdapat barang-barang
berat. Ia terdiam. Ia bingung tak mengerti apa artinya.
Di sekolah, ia menceritakan
semua isi hatinya kepada Ian. Ian pun juga mau mendengar walaupun itu hanya
terpaksa. Tetapi ia yakin Ian pasti membantunya. “Ian, bantu aku ya? Ijinkan
aku melakukan hal ini sebelum vonis itu benar-benar nyata. Ini tugas mulia”,
paksanya kepada Ian. Ia melihat Ian tampak gelisah dengan tawaran gadis itu. Ia
hanya bisa berdoa dalam hati s agar Ian mau membantu tugas itu.
“Ita, aku mau membantumu
tetapi tolong jangan tinggalkan aku dahulu. Aku masih ingin bersahabat
denganmu”, ucapnya serius. Perkataan Ian barusan membuat Juwita kaget dan
jantungnya menjadi berdebar dengan kencang.
“Kau tak perlu memikirkan hal
itu. Yang penting adalah bagaimana caranya supaya sebelum aku tak ada aku dapat
membawa perubahan besar untuk bangsa ini”, katanya dengan lirih. “Kalau begitu
aku mau membantumu”, ucapnya berat. “Oh ya? Ya ampun Ian, terima kasih. Kau
memang sahabatku yang paling baik di dunia ini”, rayunya dengan penuh
kebahagiaan. Awal yang baik.
--o0o--
Ia mengajak Ian ke suatu
tempat. Mungkin tempat dimana ia baru melihat. Tempat kumuh di bawah kolong
jalan layang. Di situ terdapat banyak anak jalanan yang sedang makan siang.
Juwita senang dapat melihat anak-anak itu dapat makan nasi walaupun tak banyak
tetapi cukup untuk mengisi perut mereka yang kosong.
“Ita, kau serius mengajakku ke
tempat seperti ini?”, tanyanya penasaran. “Iya. Bukankah kita sudah sampai di
tempat tujuan kita?”, jawab Juwita. Mereka yang bergerombol membersihkan sisa-sisa
bungkus makanan yang makanannya sudah lenyap habis mereka makan. Mereka begitu
tertib dan terlihat seperti menyenangkan.
“Kak, kami sudah selesai
makan. Kemudian, apa yang harus kami lakukan?”, tanya salah seorang anak
jalanan. Sepertinya ia yang paling tua di antara anak jalanan yang lain. “Kita
mau belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kau mau?”,ucapnya kepada anak
jalanan itu. Terlihat ia dan teman-temannya berunding. “Iya kak. Kita mau
sekolah”, katanya dengan senyum yang manis.
Juwita mengajarkan alfabet
dari A hingga Z dan angka dari 1 hingga 20. Mereka antusias sekali. Sekali-kali
Ian yang mengajar. Ian juga tak kalah semangatnya dengan anak jalanan ini.
Sudah terlihat jelas dari raut wajahnya.
Menjadi Presiden memang bukan hal mudah.
Mungkin Presiden juga memikirkan anak jalanan, pengemis, bahkan orang miskin
yang hanya tinggal di gubuk kecil pinggir sungai, rel kereta api, maupun yang
tinggal di bawah kolong jembatan. Namun Presiden tak bisa jika ia bekerja
sendiri untuk menyemangati anak jalanan yang membutuhkan pendidikan. Jika kita
sebagai anak-anak bangsa yang berpendidikan, seharusnya kita dapat memberi
semangat anak jalanan.
Juwita dan Ian cukup puas dengan
apa yang mereka berdua ajarkan. Hal yang kecil untuk bisa membuat perubahan
sudah mereka lakukan walau masih langkah pertama. Tetapi semangat mereka tak
sampai di sini saja. Mereka terus berjuang untuk dapat membawa teman-teman kami
yang lain untuk terjun langsung di lapangan.
“Ita, terima kasih untuk hari
ini. Aku bangga denganmu”, ucap Ian sembari ia memegang es teh yang ada di
plastik itu. Mereka memang capek. Namun mereka juga bahagia. “Iya, Ian. Justru
aku yang semestinya berterima kasih kepadamu. Kau membantuku dalam
menyelesaikan misiku yang pertama dan sederhana ini”, jawab Juwita dengan polos.
“Bukankah itu gunanya seorang sahabat?”, tanyanya. “Ya, benar sekali”, ucap
Juwita. Tiba-tiba hembusan nafas Juwita tak teratur. Dadanya sesak sekali untuk
bernafas. Ian melihat keadaan Juwta yang seperti itu dan segera menolongnya. “Ita,
kau kenapa? Ya Tuhan tolong Ita.”, ucapnya dengan sedikit takut. Juwita
tiba-tiba jatuh dan segera ia membawanya pulang. Ia memanggil tukang becak
untuk mengantarnya ke rumah.
--o0o--
Mata Juwita melihat lampu yang
bersinar sangat terang. Ia sudah membuka matanya. Ia melihat Ian menangis
mengeluarkan air mata. Ia mendongakkan dagunya. “Ian, kau kenapa menangis?”,
tanyanya. “Aku tak siap kau pergi…”, ucapnya dengan nada yang agak serak.
“Tuhan yang mengatur umur manusia, Ian. Kau percaya itu?”, ucapku lirih. “Ya,
aku percaya”, katanya.
Juwita berusaha untuk bangun
dan makan bubur ayam yang dibelikan Ibunya. Mungkin ia terlalu capek. Sehingga membuatnya menjadi
lemas. Karena banyaknya udara kotor yang ia hirup, mungkin ia sesak. Penyakit itu
memang berbahaya. Tetapi ia yakin pasti sembuh.
“Ita, untuk sementara, besok
kau berhenti untuk mengajar anak jalanan itu.
Biar aku dan anak lain saja yang mengajar. Aku tahu bahwa kau tak ingin
kita saja yang membantu mereka mencari ilmu”, kata Ian sambil menoleh ke
hadapan Juwita yang masih terbaring sembari mengunyah sedikit demi sedikit. Ia
tampaknya serius untuk mengajak teman-temannya mengajar anak jalanan.
“Kau yakin berhasil?”,
tanyanya singkat dan tampak sedikit ada keraguan. “Ya, aku yakin. Lihat saja
besok”, ucapnya. “Oke, aku percayakan semuanya kepadamu”, katanya singkat,
padat, dan jelas.
--o0o—
Pagi ini badannya sudah mulai
tak sakit seperti semalam. Namun, ia masih belum dapat pergi ke sekolah maupun
pergi mengunjungi anak jalanan seperti kemarin. Juwita memikirkan kondisi
tubuhnya. Ia merasa akhir-akhir ini merasa sangat lelah. Dadanya juga sering
kambuh. Ia sedikit khawatir dan takut.
“Tuhan, aku merasa lebih
lemah. Aku belum siap untuk pergi meninggalkan dunia ini. Aku ingin masih dapat
bertemu dengan anak jalanan. Aku menyayangi mereka seperti aku mencintai
bangsaku ini. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Cita-cita untuk bisa merasakan
bagaimana menjadi seorang Presiden. Aku tahu
tak mudah apalagi aku sedang bersama dengan penyakit ini. Tuhan, tolong
aku. Mampukan aku”, ucap Juwita dalam hati. Tiba-tiba matanya meneteskan air
mata. Tangannya gemetar dan jantungnya berdebar dengan kencang. Ia menghapus
air matanya secara tiba-tiba saat ia melihat Ibunya datang menghampiri Juwita.
“Juwita kenapa kau menangis,
Nak?, ucap Ibunya samil membawakan mangkuk berisi sup kesukaan Juwita. “Juwita
takut, Bu”, jawabnya. “Takut kenapa? Hidup ada di tangan Tuhan. Jadi Tuhan yang
menentukan kita untuk hidup atau tidak. Ibu juga takut tetapi Ibu harus
menerima takdir yang diberikan Tuhan kepada kita.”, ucap Ibu panjang lebar.
“Juwita takut tak bisa membawa
perubahan untuk bangsa ini”, ucapnya. “Juwita tak perlu takut tentang hal itu.
Itu bukan menjadi tugas Juwita saja tetapi orang lain juga begitu. Termasuk
Ibu.”, ucap wanita yang umurnya sudah tua namun sifat bijaknya masih terlihat
sebagai wanita dan Ibu Juwita. “Iya, Bu. Juwita mengerti.”, ucap Juwita sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melanjutkan sarapannya. Ia tiba-tiba
memikirkan Ian, sahabat baiknya itu.
--o0o--
Lelaki itu menyusuri lorong sekolahnya
dengan wajah lesu tak berdaya. Teman-temannya bingung melihat wajah Ian yang
tak lesu itu. Padahal biasanya Ian adalah salah satu murid yang selalu menyapa
teman-temannya jika saat ia datang. Namun, teman-temannya bertanya-tanya kenapa
Ian seperti itu.
“Tian, kau kenapa? Murung
sekali mukamu itu? Kau sakit?”, tanya salah seorang teman kelasnya. “Bukan aku
yang sakit. Tetapi Juwita. Dia lemah di rumah. Hmm, kau mau ikut denganku
tidak? Kau ajak teman-teman siapa yang mau ikut aku”, tawar Ian. “Kemana?”,
tanya temannya itu sekali lagi. “Sudahlah ikut aku saja”.
Teman-teman Ian semua
bingung. Namun teman Ian menawarkan kepada teman-teman yang lain. Yang ikutpun
tak sedikit tetapi banyak. Ian tersenyum melihat simpati teman-temannya. Ian
juga yakin pasti misi seorang Juwita akan berhasil dan lebih berhasil.
Kriinggg…..Kriiinggg…. bel
tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Ian cepat-cepat mengumpulkan
teman-temannya. Ian menyuruh teman perempuannya untuk membeli roti
sebanyak-banyaknya. Setelah semua siap, mereka berjalan dari sekolah menuju
tempat yang dituju. Semua temannya bingung. Jalan yang dilalui adalah rel
kereta api, jalan raya besar kemudian masuk ke kolong-kolong jembatan.
Teman-temannya tersenyum melihat tingkah Ian.
Anak-anak jalanan yang
melihat Ian yang membawa kantong plastik segera berlarian menuju sebuah tempat
yang lumayan luas. Mereka memberi salam kepada Ian dan teman-temannya. Teman
perempuan Ian membagi-bagikan roti yang tadi sudah di beli. Teman-teman Ian
semua tersenyum. Ada juga yang sedikit demi sedikit mengusap matanya yang sudah
mengeluarkan air mata. Ada pula yang duduk di sebelah anak jalanan yang
kira-kira berumur 3 tahun. Sungguh bahagia melihat anak jalanan bahagia.
“Adik-adik, Kak Ian membawa
teman Kakak. Banyak ya? Nah, sekarang mari kita memulai belajar kita hari
ini.”, ucap Ian layaknya sebagai guru di situ. “Kak, teman Kakak yang satunya
kemana? Yang cantik itu”,ucap salah seorang anak jalanan.
“Hmm, Kak Juwita sedang
sakit. Doakan saja semoga sembuh”, jawab Ian dan tiba-tiba air matanya jatuh.
Teman-temannya mencoba menghibur Ian. Teman-teman Ian salut kepada apa yang
diperbuat Juwita untuk anak jalanan ini. Semua teman Ian antusias sekali
mengikuti belajar tersebut. Ada yang mengajarkan menulis. Ada yang mengajarkan
membaca. Semua antusias. Teman perempuan Ian hilang tiba-tiba. Tak tahu kemana.
Ian bingung saat melihat beberapa teman-temannya tidak ada. Tak lama,
teman-temannya membawa kardus besar. Kardus itu berisi nasi bungkus dan air
minum. Sungguh perbuatan yang tak terduga. Ian tersenyum bangga. Sepulang dari
mengajar anak jalanan, mereka pergi ke rumah Juwita. Disana, Juwita tersenyum
melihat perbuatan teman-temannya. Ia menitikkan air mata. Ia bersyukur memiliki
teman-teman seperti mereka semua. Teman perempuan Ian memeluk Juwita dan mulai
menangis.
Beberapa hari kemudian Juwita
sudah mulai pulih. Ia bersama-sama dengan segerombol teman-temannya pergi
mengajar anak jalanan. Setiap harinya teman yang diajak mulai bertambah. Selain
anak jalanan, mereka memberi sembako kepada orang-orang yang tak mampu.
Sunggguh betapa mulianya perbuatan mereka. Walaupun rata-rata anak jurusan IPA,
namun jiwa sosialnya tak kalah dengan anak jurusan IPS.
“Teman-teman, terima kasih
telah membantuku untuk misi ini. Aku tak seberhasil ini tanpa kalian. Aku
bangga. Jika seandainya aku tiada, terus lanjutkan. Aku sudah merasakan sebagai
seorang Presiden. Presiden yang tak peduli dengan kehidupan politik saja,
tetapi juga peduli terhadap kehidupan sosial. Ajak orang banyak untuk bisa
berbagi kepada orang lain yang membutuhkan kita. Aku menyayangi segalanya di
dunia ini terlebih anak jalanan, pengemis, orang tak mampu serta yang lain”,
ucap Juwita. Semua memeuk Juwita. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan ia terjatuh.
Teman-temannya membawa pergi ke Rumah Sakit namun nyawanya tak tertolong.
Juwita telah menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk terakhir kalinya di depan
temannya.
Juwita yang terkena penyakit
kanker paru-paru telah tiada. Ia tiada dengan tenang. Perbuatan yang telah ia
lakukan sudah selesai.”Jika aku
menjadi seorang Presiden, aku ingin bisa
keliling jalanan tanpa dikawal, mencoba memakai pakaian bekas, tak makan
seharian, memakmurkan rakyatku, kejahatan hilang bahkan tak ada korupsi, terlebih
menjadi seorang Presiden yang jujur, bijak, dan setia kepada rakyat terutama
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”, ucapnya dalam hati sebelum ia memulai
misi itu, beberapa minggu yang lalu. Pesan singkat dari Juwita untuk Bangsa
Indonesia.
“Membawa perubahan bangsa tidak selalu menjadi seorang
pemimpin seperti Presiden, tetapi dimulai dari diri sendiri. Dari hal kecil,
dari lingkungan sekitar kita selagi kita memiliki waktu sebagai generasi muda
berpendidikan” (EY)
--SELESAI--