Selasa, 09 September 2025

Inventaris Laboratorium

Inventaris Laboratorium

Silakan pilih barang yang ingin dipinjam, lalu simpan ke Google Sheets.

Nama BarangKeteranganStokAksi

Daftar Peminjaman


Rabu, 15 Juli 2015

Halo teman-teman. Senang sekali nih bisa nongol di blog lagi. Hehehe. Nah, kali ini aku bakal kasi video yang bisa membantu teman-teman untuk praktikum khususnya untuk pelajaran Biologi. Video ini adalah video tutorial pembuatan tape singkong. Udah pada tahu kan ? Gak perlu lama-lama langsung aja tonton videonya yuk. Selamat menonton dan bereksperimen!

Kamis, 05 Februari 2015

Ketika Kau Menjadi Bagian dalam Hidupnya Part II

Sulit memang untuk dapat hidup berdampak bagi orang lain. Namun, entah mengapa ketika masa-masa pacaran, kita sering menjadi bagian dalam hidupnya. Contoh, kalau dia tidak menyukai makan malam, mungkin ketika kita mendengar hal itu kita akan marah dan mencoba mengubah pola hidupnya. Oke oke, mungkin itu hanya sekadar masa lalu yang sering kudengar dari beberapa teman lama. Bagian kedua kali ini aku akan menuliskan tentang kita yang telah menjadi bagian dalam hidupnya. Menjadi bagian dalam hidup orang lain sangatlah tidak mudah. Sebelum kita menegur orang lain kita harus memberi contoh yang baik kepada orang lain. Memberi contoh dalam hal yang baik tidaklah mudah, guys. Tak semudah melepaskan balon ke udara. Tetapi percayalah jika kau bertekad untuk mengubah dan menjadi bagian dalam hidup seseorang, kau akan perlahan-lahan belajar untuk mengubah hidup mereka dari hal yang terkecil. Coba saja, maka kau akan merasakan arti dari "Menjadi bagian dalam hidupnya".

Senin, 26 Januari 2015

Ketika Kau Menjadi Bagian dalam Hidupnya Part I

Kali ini entah mengapa, aku merasa biasa saja semenjak keputusan yang diambil olehnya begitu saja. Bahkan begitu sangat cepat. Aku merasakan betapa berartinya kita dimata seseorang yang kita sayangi. Mungkin semuanya tampak mustahil bila hubungan itu berjalan begitu cepat tanpa ada sesuatu yang dipermasalahkan. Aku tak begitu tahu apa yang ada di dalam dirinya. Namun satu hal yang aku ketahui, dia memiliki seseorang yang jauh lebih baik daripada aku. Oke, semuanya memang sudah berlalu, tetapi kenangan dan moment-moment yang yang pernah kami buat terasa datang kembali lagi. banyak hal yang telah kami lakukan bersama. Tapi ternyata, semua sia-sia.Aku tak banyak berbicara soal dia--mantan yang yahh, bagiku mantan yang berarti untuk kehidupanku, meski aku tak begitu berarti di matanya. Sekilas ceritaku ini akan kulanjutkan beberapa hari lagi hingga aku mengerti betul tentang aku yang ingin menjadi bagian dalam hidup siapapun yang aku cintai.

Selasa, 17 Juni 2014

SEPUCUK SURAT PERSAHABATAN


          Kulangkahkan kakiku menuju sebuah bangunan klasik dengan pagar hitam bercorak bunga yang menjulang tinggi. Kurasakan efek sinar matahari yang hangat membungkus tubuhku yang dingin. Angin yang terhembus sesekali menyibakkan rambutku yang panjang yang terurai sepunggung. Dengan rasa optimis aku berlari kecil menaikki beberapa anak tangga yang ada di depan gedung itu dan mulai masuk ke dalamnya. Wow. Speechless. Diam tanpa kata. Amazing. Wonderful. Menakjubkan. Hanya itu yang bisa terpikirkan oleh benakku.

            Tanpa ragu-ragu aku memasuki lobby yang terdapat beberapa sofa empuk yang berwarna cokelat muda dengan meja kaca di tengahnya sebagai ruang tunggu. Aku teringat bahwa ruang Kepala Sekolah ada di lantai dua. Akhirnya, kupaksa melangkahkan kaki menuju lift. Ups. Aku menginjak sesuatu.

            “Apa ini? Hmm..Tak ada orang sama sekali.” kataku dalam hati sembari mengernyitkan dahi. Surat Persahabatan. “Aneh.” pikirku.

            Aku memegang surat itu—Surat Persahabatan dengan penuh penasaran. Tak lama, kusimpan surat itu ke dalam tas dan aku memilih untuk melanjutkan perjalananku menuju Ruang Kepala Sekolah.

._.

            Aku memasuki kelas XI-IPA-2 yang di dalamnya terdapat banyak siswa. Disana aku memperkenalkan diri sebagai siswa baru di SMA Lentera Kasih. Aku minder. Aku tak tahu harus berbicara apa di depan mereka yang tak ku kenal. Aku menunduk.

            “Pagi guys. Perkenalkan. Namaku Neyland. Ya. Neyland Ahira. Aku senang bisa bertemu dengan kalian. Have a nice day, guys!” ucapku dengan lantang. Mereka tersenyum. Sesekali kulirik beberapa siswa yang melambaikan tangannya. Aku tergelitik.

            Aku duduk di bangku kosong dekat jendela. Anginnya sejuk dan segar membuatku terasa sedikit mengantuk. Jam pelajaran pertama dimulai. Tetapi tak lama bel istirahat berbunyi dan aku teringat sesuatu. Aku mencari surat yang kutemukan di depan lift tadi. Sepertinya ini milik seseorang. Tapi siapa? Ketika aku ingin membukanya terdengar langkah kaki seseorang dari arah depan. Aku menunduk setengah takut.

            “Hai. Siswa baru?” sapanya lirih. Aku bergegas menyembunyikan surat itu. Dia tersenyum lebar. Lelaki itu membuka kacamata hitam yang menutupi kedua matanya.

            “Hai juga. Nngg, iya aku siswa baru. Kau? Siswa kelas ini juga?” tanyaku pada lelaki itu. “Tidak. Aku XI-IPA-1.” singkatnya.

            “Oh.” jawabku. Aku memandangnya. Dia tersenyum dan kemudian duduk di depanku.
“Siapa namamu?” tanyanya. “Neyland. Kau?”

            “Joseph.”

            Kami berdua diam tak berkutik. Aku bingung ketika ia menatap mataku tajam. Misterius. Joseph. Neyland. Joseph. Neyland. Aneh. Ya. Ada yang aneh. Aku diam.
“Ney, ikut aku yuk.” tawarnya sambil menarik tanganku dengan kuat hingga kakiku terbentuk kaki meja yang begitu keras. Sial. Joseph mengajakku ke suatu tempat. Ia mengajakku ke sebuah taman dimana ada beberapa air terjun kecil yang sengaja dibuat untuk menciptakan suara gemericik air yang segar dan sejuk. Aku tertawa.

“Joseph, apa maksudnya kau mengajakku kemari?” ucapku ling-lung. “Aku suka suara air. Membuatku nyaman dan ingin terus ada disini hingga sepulang sekolah nanti.”

“Joseph, Aku siswi baru dan mengapa kau begitu akrab denganku hingga kau mengajakku kesini? Tidak ada siswa lain?” tanyaku panjang lebar.

“Neyland, aku tak peduli siapa kau. Aku hanya ingin kau menjadi sahabatku. Itu saja.”
“Tapi?” selaku. Aku diam. “Tapi apa? Karena kita baru saja mengenal?” Aku mengangguk.
“Kau akan mengerti apa yang menjadi maksudku.” Aku bingung.

._.

            Beberapa bulan kemudian.......
            Entah mengapa aku bisa bertemu dengan Joseph. Seperti takdir. Semenjak aku mengenalnya hingga sekarang, aku merasa memiliki seorang teman yang selalu ada untukku. Lalu apa tujuannya dia mengajakku untuk menjadi seorang SAHABAT untuknya? Misterius.

            Aku bahagia memiliki sahabat seperti Joseph. Walaupun pada awalnya kami hanya berkenalan, pergi ke taman, dan bermain bersama. Tetapi sampai saat ini aku merasa bahwa dia sudah mengetahui banyak hal tentang diriku. Aku menghembuskan nafas panjang. Hhh.

            Aku berjalan dari lobby untuk naik kelantai 2 melalui lift. Aku teringat sesuatu. Selama beberapa bulam aku melewati lift ini aku tak ingat bahwa aku belum membaca surat itu sama sekali. Bahkan, aku lupa menyimpannya. Dimana surat itu sekarang?

._.

            Malam yang dingin kupikir. Angin berhembus lumayan kencang membuat bulu kudukku merinding. Dingin. Aku mengelus-elus lenganku agar hangat tetapi tetap saja merasa dingin. Aku kembali masuk ke kamarku dan mengiringkan langkahku untuk turun ke bawah melewati beberapa anak tangga yang ada di rumahku. Entah apa yang kupikirkan sehingga aku tersandung dan tubuhku lemas tak berdaya setelah tubuhku menggelinding dari lantai atas. Kepalaku membentur sesuatu. Aku hanya bisa dalam hati ketika kejadian itu.

            Telingaku hanya bisa mendengar teriakan-teriakan keras dan suara roda yang menggelinding. Entah aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Apa aku gegar otak? Apa kepalaku bocor? Atau apalah. Aku tak tahu. Hingga tak lama aku sadarkan diri. Aku merasakan ada yang aneh pada diriku dan ternyata mataku terbalut dengan perban. Aku takut.

            “Joseph.” Aku memanggil nama itu. Nama yang indah ketika ia memperkenalkan dirinya beberapa bulan lampau. “Aku tak bisa melihat wajahmu. Aku kenapa, Jos?” Aku menangis. Dia memelukku. “Apa aku buta? Aku sudah merasa melihat. Tetapi mengapa gelap? Bukankah masih siang? Aku kenapa, Jos?” Aku teriak menangis. Pelukannya makin erat.

            “Semuanya baik-baik saja, Ney. Percayalah. Tak usah menangis. Masih ada aku.” ucapnya lirih. Aku semakin menangis.

            Aku merasa aneh dalam diriku. Aku divonis buta oleh dokter. Aku tak bisa menatap Joseph. Tak bisa melihat Mama dan Papa. Tak bisa melihat teman-temanku yang lain. Bahkan aku tak bisa melihat diriku sendiri di depan kaca ketika berdandan. Semuanya terganti dengan gelap. Tak peduli itu pagi atau siang ataupun malam. Gelap.

._.

            Siang itu aku mendengar Joseph kecelakaan. Oh Tuhan. Apa pelukan itu yang terakhir? Aku menangis. Aku bingung tak karuan. Aku tak tahu. Aku tak bisa melihatnya. Berjam-jam aku hanya bisa terbaring di kasur itu menunggu info mengenai Joseph. Aku masih menangis. Tak lama aku dibius oleh salah seorang suster dan aku hanya bisa berbicara dalam hati dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh dokter dan asistennya.

            Setelah beberapa jam, mataku kembali dibuka setelah di perban. Aku melihat. Ya. Terlihat banyak orang di sekitarku. Ada Papa, Mama, adikku, dan beberapa temanku. Joseph. Ya. Kemana dia? Aku kembali menangis. Mama memelukku.

            “Ma, Joseph kemana?” isakku. Mama juga menangis dan mulai memegang tanganku.
“Joseph tadi siang kecelakaan ketika ia pulang menjengukmu tadi. Lalu ia kritis dan sadar hanya beberapa menit dan ia mengatakan bahwa ia ingin mendonorkan korneanya untukmu. Lalu tak lama detak jantungnya terhenti. Ia sudah pulang ke rumah Bapa.” Aku menangis.

._.

            Sebelum pemakamannya, aku sempat melihat wajahnya yang pucat. Wajahnya terlihat bahagia walaupun aku tak bisa melihat mukanya yang tersenyum seperti biasanya. Di depanku, hanya ada sebuah makam dengan penuh taburan bunga di atasnya. Aku mengeluarkan sepucuk surat yang kutemukan ketika pertama aku masuk sekolah.

Untuk siapa saja yang menemukan surat ini...
Terima kasih telah menemukan surat ini, Surat Persahabatan..
Tujuanku menulis surat ini adalah ingin mengajakmu untuk menjadi sahabatku..
Siapapun kau saat ini, kau adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi sahabatku sebelum Tuhan menghentikan kehidupanku..
You’re special..
Because you’re my BESTFRIEND..
Setiap canda, tawa, dan moment itu akan teringat sampai kapanpun..
Meski waktu tak bisa diulang, tetapi kenangan akan mengajak kita untuk kembali ke waktu yang lampau..
Kau tahu?
Masa yang paling indah adalah masa SMA..
Karena aku bisa mengenalmu..
sebagai
SAHABAT..
                                                                                                                                              -Joseph-

           
            Semuanya sudah berlalu. Ternyata, surat itu tahu tentang takdir. Benar, SMA adalah masa paling indah bagi semua orang yang pernah mengalaminya. Aku pun juga begitu. (ey)

           




           





Senin, 22 Juli 2013

The Misterious Angel


“Malaikat di Tengah Kesunyian”

            Sunyi. Itulah keadaan yang biasa aku rasakan setiap harinya. Hidup yang sangat hampa, menurutku. Tampak jelas sekali. Apalagi ketika aku harus menikmati rumah mewah hanya sendirian tanpa seorang pembantu rumah tangga. Yah, bisa dibayangkan betapa sengsaranya menjadi diriku. Miris juga saat aku harus menikmati makan siangku di sekolah dengan bangku yang kosong tepat di depan mataku. Entah. Mengapa hidupku seperti ini. Seakan-akan dunia ini hanya milikku saja. Padahal di sekelilingku banyak orang-orang yang hanya melihatku tanpa ingin berteman denganku.

            Begitulah gambaran hidupku saat ini. Oh ya, perkenalkan, namaku Graciella Shyekina. Biasa dipanggil Shye. Aku gadis yang genap berumur enam belas tahun. Aku hanya memiliki seorang ayah yang baik bahkan terlalu baik bagiku. Namun kenyataannya tak seperti yang ku katakan. Ayahku sangat baik. Saking baiknya Beliau tak pernah sedikitpun peduli dengan hidupku yang seperti ini. Tak hanya itu. Aku tak memiliki sahabat—yang benar-benar sahabat. Namun di sisi lain, aku memiliki kerinduan yaitu sebelum hidupku berakhir, aku ingin memiliki seorang sahabat. Sahabat yang sesungguhnya. Aku yakin pasti ada—walaupun buatku itu impossible. Hanya bermimpi bahkan !

            “Shye, hari ini Papa mau berangkat ke Paris untuk melakukan pekerjaan. Papa harap kamu bisa menjaga rumah sebesar ini. Papa memang sengaja tidak memanggil pembantu. Karena Papa yakin kamu bisa menjaganya. Papa pergi tak lama. Hanya sebulan saja.” ucap Papaku sebelum keberangkatannya menuju Bandara Soekarno-Hatta.”Iya, Pa. Aku harap Papa tak lupa membawakanku oleh-oleh.” pintaku sambil tersenyum.”Tentu.” sahutnya.

            Hari ini aku mengantar Papa pergi ke bandara setelah itu aku berangkat menuju ke sekolah. Dalam batinku, aku berharap aku tidak terlambat. Tak hanya itu, semoga saja aku bisa bertahan sendiri bersama rumahku yang lumayan besar. Semoga. Setelah aku mengantar kepergian Papa, aku segera menancapkan gas menuju sekolah. Untung saja masih pagi. Jadi, aku bisa lebih awal datang ke sekolah.

            Sejenak aku terdiam mengingat kegiatanku di sekolah. Hampa sekali tanpa seorang teman. Entah mengapa jarang ada yang mau berteman denganku.Mungkin karena secara fisik aku tak sesempurna perempuan lain. Lebih tepatnya dengan kepala tanpa rambut. Aku juga tak mengerti. Kejadian itu ternyata membuatku seperti ini dan aku harus kehilangan seorang Ibu yang menyayangiku. Tetapi aku yakin bahwa suatu saat ada seorang malaikat yang turun untuk menghiburku.
._.

            “Halo.” kata seseorang yang bertubuh tinggi dari arah tempat parkir. Aku menoleh kemudian aku berusaha menutupi kepalaku dengan penutup kepala yang ada pada jaketku. Aku malu. “Halo juga.” jawabku polos.

            “Mengapa kepalamu kau tutupi? Kau unik. Ups.” katanya. Aku sedikit tersindir. Siapa dia? Mengapa aku baru saja melihatnya? Apa dia murid baru di sekolah ini? pikirku. “Tak apa. Aku duluan ya.” sahutku kemudian berusaha meninggalkannya. Tetapi ternyata tangannya memegang tanganku. Langkahku terhenti dan aku menoleh.

            “Namaku Billy. Billy Angelson. Kau?” tanyanya sembari menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Begitu pentingkah aku memperkenalkan diriku sedangkan kau baru saja melihatku lalu memegang tanganku?”

            “Oh, sorry. Aku tak bermaksud bermacam-macam denganmu. Aku murid baru di sekolah ini. Aku kelas sepuluh. Tepatnya sepuluh satu. Kau tahu tempatnya?” tanyanya kepadaku. Aku terdiam. Sepuluh Satu? Bukankah itu adalah kelasku? Oh, tidak! Mengapa aku harus satu kelas bersama dia? Billy Angelson !

            “Ya, aku tahu. Aku akan mengantarmu. Ayo.” jawabku sembari melkagkahkan kaki menuju lorong kelas. Rasanya hatiku berubah menjadi sedikit gugup. Ya, aku sadar kalau dia sangat tampan. Tetapi ini bukan masalah tampan tidaknya. Tetapi masalah hati. Sepertinya aku pernah mengalami seperti ini. Sudahlah. Biarlah.

            “Hey, aku belum mengetahui siapa namamu. Bisakah kau memperkenalkan dirimu?” tanyanya. “Sudahlah. Kau akan mengetahui siapa aku.” Aku tersenyum dan kulihat ia tersenyum tanda setuju.
           Aku berjalan menyusuri lorong kelas yang panjang itu. Disana berdiri banyak tiang yang menyangga atap di lorong itu. Bisa dibilang seperti bangunan rumah sakit. Akhirnya aku memasuki kelas bertuliskan X-1 di bagian atas pintu kelas. Aku mempersilahkan Billy masuk sedangkan aku tetap di luar kelas menunggu waktu jam pelajaran dimulai.

            “Aku senang dengan suasana sekolah ini. Seperti tak asing bagiku.” Ucapnya sambil duduk di sebelah kiriku. Aku mengalihkan pandangan mataku. Aku sungguh malu melihatnya dengan keadaan seperti ini.

            Bel tanda masuk kelaspun berbunyi nyaring. Aku bergegas masuk kelas. Yup! Kelas X-1 bersama Billy. Aku mencari bangku yang selalu ku tempati sendirian. Di pojok kelas aku selalu sendiri. Hanya tembok saja yang bersamaku. Namun saat ini aku merasa begitu asing. Ternyata tak disangka bangku kosong itu terisi dengan tas yang dipakai Billy. Oh tidak! Mengapa aku harus satu bangku dengannya? Apa ini takdir?

            Guru mata pelajaran memasuki kelasku. Terdengar suara high heels guru Bahasa Inggrisku berbunyi. Beliau duduk di bangku guru dan kemudian mengabsen siswa yang hadir. Satu persatu siswa dipanggil kemudian mengacungkan tangannya.

            “Graciella Shyekina?” panggilnya. “Hadir, Bu.” jawabku singkat. Billy sepertinya menoleh ke arahku. “Siapa namamu? Shyekina?” tanyanya. “Iya. Graciella Shyekina.”

            “Oke. Nama yang bagus. Aku menyukai namamu.” katanya tersenyum. Begitupun  aku. Aku ikut tersenyum melihat senyumannya itu. Begitu mendamaikan hatiku.

._.

            Hari demi hari kunikmati bersama Billy. Ternyata ia tak seperti yang kubayangkan. Betapa bahagianya memiliki teman dekat sepertinya. “Shye, maaf jika aku bertanya seperti ini kepadamu. Kau pernah mengalami kecelakaan kah?” tanyanya serius. “Iya. Beberapa minggu yang lalu bersama mamaku. Selain kehilangan rambutku karena harus ada yang dioperasi, aku juga rela kehilangan mamaku.” Aku tertunduk sedih.

            “Maaf, Shye. Aku tak bermaksud membuatmu sedih seperti ini. Maaf.” ucapnya. “Tak apa-apa, Bill. Bagiku sudah biasa ada seseorang yang baru mengenalku lalu bertanya seperti itu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”

            “Shye, kau masih beruntung masih ada seorang ayah. Aku tak memiliki ayah dan ibu. Aku hanya hidup bersama dua adik kecilku. Tetapi mereka sedang bersama Omaku di luar negeri. Sedangkan disini aku hanya sendiri. Dulu, ayah dan ibuku pernah memarahi hingga habis-habisan. Sejak saat itu aku putus asa dan mau mati rasanya. Bahkan aku ingin menabrakkan diriku di tengah jalan.” Katanya panjang lebar. Tetapi aku berusaha menyelanya.

            “Karena apa hingga orang tuamu memarahimu habis-habisan?” tanyaku di sela-sela pembicaraannya. “Karena aku pernah mengonsumsi obat-obatan seperti narkoba. Sejak itu juga, aku merasa melayang-layang. Apapun aku lakukan untuk mendapatkan obat itu. Hingga suatu hari aku tak memiliki apa-apa. Akhirnya aku pergi ke rehabilitasi sendiri untuk menyembuhkan kecanduan narkoba itu. Pada akhirnya aku dinyatakan sembuh dan bisa ada disini bersamamu.” jawabnya.

            “Apa kau membenci orang tuamu saat mereka sudah tiada?” tanyaku penasaran. “Tidak, aku tak pernah membencinya. Aku merasa mereka adalah anugerah dari Sang Kuasa. Kalau mereka tidak ada, aku tak mungkin bisa berada disini. Bahkan bisa berjumpa denganmu. Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau membenci kedua orang tuamu?” Aku terdiam berpikir.”Awalnya begitu. Bukan mamaku tetapi papaku. Beliau selalu memarahiku. Tetapi sejak kau bercerita tentang dirimu aku merasa ada damai dan aku merasakan bahwa papaku ada karena aku menghiburnya. Begitu pikirku. Oh ya, apa kau tak malu memiliki teman yang tak punya rambut sepertiku?”

            “Atas dasar apa aku harus malu? Apa semuanya harus selalu melihat fisik? Tidak kan? Aku melihat hatiu, Shye. Bukan kepalamu ada rambutnya atau tidak. Shye, aku tahu aku baru mengenalmu, tetapi aku merasa bahwa kau adalah seseorang yang sudah lama ku kenal. Kau percaya itu?” tawanya. “Ya, aku percaya. Oh ya, aku menyukai nama belakangmu. Angelson. Apa kau benar-benar malaikat yang membuatku berbeda?” tanyaku.

            “Mungkin. Tetapi aku berharap aku adalah utusan Tuhan untuk membuat hidupmu berbeda. Tetapi malaikat bisa saja pergi secara tiba-tiba.” Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

            “Kau akan mengerti suatu saat. Ya sudah, ayo masuk kelas.” Katanya sambil menarik tanganku. “Oke.” Aku tersenyum.

            Aku merasakan sesuatu yang misterius dalam dirinya. Begitu misterius. Dulu, saat jam istirahat, aku tak pernah berbicara bersama teman-teman. Tetapi saat ini ada malaikat yang datang untuk mengisi kesunyian hidupku.Billy Angelson.

            Sudah berbulan-bulan aku menikmati kehidupan bersama seorang malaikat. Bisa dikatakan seperti itu. Aku sering mengajaknya jalan-jalan, bermain bersama, menemaniku di rumah, memasak bersama, bahkan pernah berjalan-jalan bersama Papa. Yah, tak apalah. Sedikit mengurangi rasa rindunya bersama ayahnya. Aku merasakan keluarga baru. Sekarang.
._.
            “Shye.” ucap seseorang dari arah berjauhan. . Saat ku lihat adalah Billy. Teman satu bangku. Menurutku dia adalah seorang yang tampan, baik, pintar, dan sebagainya. Sayangnya, dia sudah kuanggap sebagai bagian dari keluarga kecilku bersama Papa.

            “Ada apa, Bill?” jawabku ketika ia berusaha meraih tanganku. Tetapi aku menolaknya mentah-mentah.

            “Tak apa. Hanya ingin menemanimu. Aku tahu selama kau masuk SMA ini kau tak pernah memiliki kawan selain aku. Iya kan?” katanya sembari mengubah raut wajahnya menjadi gembira. “Hah? Aku bilangi ya, Bill. Kalau jadi seseorang itu yang biasa saja. Jangan pernah bangga dengan apa yang ada saat ini. Oh ya, satu lagi, jadi orang jangan terlalu kege-eran ya!” ucapku sambil melangkahkan kakiku pergi dari hadapan Billy. Ku menoleh sedikit. Ku lihat raut wajahnya berubah sedikit kecewa. Sedikit dia menolehku dan aku tersenyum padanya.

            “Shye, tunggu !” pekiknya. Ku dengar langkah kakinya yang sedikit cepat seperti sedang berlari. Ku tengok ke belakang ternyata dia berlarian mengejarku. Aku terhenti. “Oke. Aku minta maaf sama kamu, Shye. Aku hanya bercanda tetapi kau malah serius.” katanya.

            “Ha..ha..ha..Billy Billy. Makanya, jangan seperti itu sama aku. Kena sendiri kan? Wekk!”, ucapku sembari menjulurkan lidahku. “Shye, kau sakit? Lidahmu pucat.” tanya Billy kepadaku. Aku berlari menuju kamar mandi. Dengan khawatir aku melihat lidahku di cermin dan hasilnya adalah pucat. Sesuai yang dikatakan Billy. Billy tak bohong! Tetapi pucat karena apa? Apa aku sakit?

._.

            Kejadian siang itu membuat keadaanku menjadi seperti ini. Kesehatanku tak terkontrol dengan baik. Beruntung aku masih dapat berjalan, berlari, menari, berolahraga, dan sebagainya. Namun, aku tak boleh terlalu capek. Begitulah kata dokter. Sejak kejadian itu juga, Billy tak berani becanda berlebihan. Karena ia tahu bahwa keadaanku mudah untuk melemas.

            “Shye, hari ini aku tak bisa menemani makan siangmu. Aku harus berlatih futsal. Kau tahu kan aku harus bertanding minggu depan? Jadi aku meminta maaf. Ku harap kau bisa mengerti. Oh ya, jangan lupa untuk meminum obatmu.” ucapnya terlalu panjang. “Iya, aku mengerti.” begitulah ucapku. Dalam pikiranku, Billy terlalu sibuk akhir-akhir ini. Entah mengapa dia tak seperti dulu ketika aku mengenalnya. Atau mungkin dia merasa tak cocok berteman denganku. Sudah kuduga kalau tak mungkin aku memiliki sahabat yang benar-benar sahabat. Tetapi mungkin itu hanya perasaan dan pikiranku saja. Biarlah.

            Aku yang dari tadi duduk bersama bangku kosong hanya membayangkan sesuatu yang akan terjadi padaku. Dengan keadaan seperti ini, akankah aku bisa bertahan hidup? Bertahan tanpa seseorang yang tahu apa yang terjadi dalam tubuhku ini? Sedih rasanya.

._.

            “Shye, ada sesuatu yang harus kubicarakan padamu sekarang.” katanya. “Begitu pentingkah aku ? Sehingga kau ingin berbicara sesuatu kepadaku ?” jawabku sedikit kasar kupikir. Bahkan aku tak mengerti aku bisa berbicara seperti ini kepada Billy—teman sebangku tetapi sangat begitu dekat.

            “Shye, mengapa kau bisa berkata seperti itu kepadaku? Apakah kau sudah mengerti semuanya?” Mengerti semuanya? Apa maksudnya Billy berkata seperti itu? Seakan-akan aku mengerti tentang semuanya. Semua yang disembunyikan dari diriku?

            “Mengerti semuanya? Tentang apa, Billy? Aku tak pernah mengerti semuanya tentang dirimu kecuali pendidikanmu.” sentakku kepada Billy yang tengah duduk di depanku. “Shye, dengar baik-baik.” Katanya sembari memegang kedua pipiku kemudian ia melanjutkan pembicaraannya. “Aku mengalami penyakit tumor otak. Kau tahu itu kan?”

            Aku terdiam kemudian berteriak di depannya. “Mengapa kau sembunyikan ini semua daripada aku Billy? Mengapa ?!! Apa kau takut aku sedih? Buat apa?!?!” aku menangis. Ia memelukku dengan erat. Aku merasakan dia adalah seseorang yang benar-benar ada saat ini. Aku mendengar isak tangis tetapi sepertinya bukan Billy. Misterius. “Aku menyayangimu, Shyekina.” ucapnya. “Aku juga menyayangimu Billy. Sungguh”. Pelukan itu rasanya tiba-tiba menghilang. Perlahan terlepas dari tubuhku. Aku membuka mata. Aku menangis setelah melihat badannya begitu lemas dan matanya tertutup rapat. Aku terjerit di kala kesunyian itu begitu terasa. Aku berusaha membangunkannya tetapi ternyata tak dapat. Takdir sudah mencabut nyawanya.

._.

            Dunia terasa hampa setelah kepergian Billy. Seorang malaikat pembuat keramaian dalam hidupku. Sesuai namanya, Billy Angelson. Bagiku, ia adalah malaikat yang ada bagiku selamanya. Mungkin aku tak ada di seumur hidupnya, namun malaikat yang awalnya misterius itu ternyata memberikan arti hidup yang sesungguhnya. Banyak pelajaran yang kudapat dari dirinya. Pelajaran yang begitu menguatkan.

Satu hal, walaupun saat ini aku jauh dari dirinya, aku merasakan betapa terasanya kasih sayangnya dalam hidupku. Mungkin aku bukan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Tetapi bagiku, dia adalah sosok yang berarti dalam hidupku ketika ia memberikan pesan-pesan istimewa kepadaku sebelum ia pergi meninggalkanku. Begitu mengasihi dirinya. Billy Angelson.(ey)


           

           

         



Senin, 01 April 2013


ANDAI AKU JADI PRESIDEN
Pesan Singkatku Untuk Indonesia
           
                   Ia duduk di depan televisi mendengar berita yang ada di salah satu channel TV swasta. Banyak bentrok disana-sini, banyak gelandangan dan pengemis di sudut ibukota, ada pula anak jalanan dan preman yang menjamur di kota-kota. Selain itu, banyak pula bencana alam yang terjadi. Korbannya tak sedikit dan tak semua tertolong. Sedangkan disisi lain, para pejabat, pengusaha, dan sederajatnya sedang asyik duduk di ruangan ber-AC, mengendarai mobil keluaran terbaru, bahkan anak mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri menikmati liburan. Perbedaan yang begitu berbeda. Sungguh, bangsa yang membutuhkan perubahan kisah. Terpikirkan olehnya bahwa tak mudah menjadi seorang Presiden. Banyak yang harus dikerjakan.
                  Namanya Juwita Murti. Gadis yang sudah lama tinggal di kota besar yang menjadi pusat metropolitan seperti Jakarta. Kehidupannya hanya bergantung dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya dan usahanya sendiri. Ia bersekolah di salah satu sekolah negeri favorit di kota itu. Tak ada kegiatan lain kecuali berjuang.
                  Bu, Ita berangkat dulu ya ? Sepertinya sudah terlalu siang, nanti Ita terlambat., ucapnya sambil melambaikan tangan kanannya. Terlihat Ibunya juga melambaikan tangan kanannya sembari berkata “Hati-hati anakku, doa Ibu menyertaimu”. Perkataan itu selalu dilontarkan dari mulut Ibunya ketika ia hendak berpergian. Entah mengapa kata-kata itu yang selalu diucapnya.
                  Ia berjalan melewati pasar yang ramai dan kumuh. Bau yang tak sedap membuat baju seragamnya yang awalnya berbau wangi menjadi sedikit bau sayuran. Tetapi tak apalah. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa sampai di sekolah dan mencari ilmu agar ia bisa meraih cita-cita rahasianya.
--o0o--
                  “Halo, Ta. Kau sedang apa kok sepertinya galau begitu?”, ucap lelaki yang bertubuh tinggi agak putih itu. Namanya Gabriel Christian. Dia sahabat Juwita sejak SMP. Kemanapun, mereka selalu bersama. Kecuali saat kelas Juwita lebih awal keluar untuk istirahat atau pulang. Juwita memang tak sekelas dengannya. Tetapi kedekatan Juwita bersamanya seperti orang yang sudah lama kenal.
                  “Halo juga, Ian”, kataku singkat. Juwita lebih suka memanggilnya Ian daripada Tian. Entah kenapa. “Aku tak galau, kok. Mungkin perasaanmu aja”, ucapnya melanjutkan percakapan. “Benar? Oh iya, Ita, sejak kau terkena penyakit itu, kau tidak seperti yang aku kenal sebelumnya. Kau kenapa? Aku khawatir sejak kau divonis dari dokter”, ucap Tian. Tiba-tiba Juwita terkaget mendengarnya. Mengapa ia tiba-tiba berbicara seperti itu di depan Juwita ?? Ia terdiam cukup lama dan …. Kriingg…kriingg… Bel masuk kelas berbunyi..
                   “Ian, aku masuk kelas dulu ya. Sampai berjumpa kembali nanti.”, katanya sembari perlahan-lahan menjauh dari hadapan Ian. Ia tak kuat ketika Ian membahas tentang itu. Juwita hanya tak ingin membuatnya sedih.
                   Selama pelajaran, ia tak dapat berkonsentrasi. Ia memang divonis salah satu penyakit. Tetapi hal itu tak membuatnya menyerah untuk bisa mengubah bangsa ini jika kelak ia menjadi seorang Presiden. Itu mimpi rahasianya. Pelajaran tentang politik dan kewarganegaraan dalam pelajaran PKn membuatnya semakin pusing dan tak sanggup bila ia memaksakan otaknya untuk berpikir. Tetapi, bukankah ini salah satu jalan agar dapat menakklukkan bangsa di bawah kekuasaan rakyat?? Namun, dengan semangat dan tekad yang kuat, ia yakin pasti cita-citanya menjadi seorang Presiden akan terwujud.
--o0o—
                    Di rumah, ia duduk termenung di meja belajar yang tepat berada di dalam kamar. Ia memikirkan tentang apa yang dipertanyakan oleh sahabatnya, Ian. Sungguh miris jika melihat ia merasa sedih. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin ia hanya ingin sekadar tahu tentang Juwita. Juwita merasa bosan di dalam kamar. Lampu belajar yang menyinari mejanya itu tampak terang benderang. Ia membutuhkan udara segar. Akhirnya ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar rumah. Ia memulai untuk berjalan menyusuri kampung.
                 Terdengar di sudut kampung, bayi menangis yang haus akan kasih sayang seorang ibu. Terdengar pula di pos ronda banyak preman yang sedang bermain judi. Entah, betapa betahnya mereka menghabiskan uang demi kepuasan pribadi mereka. Ia terus berjalan dengan sedikit rasa takut. Terlihat pula bocah laki-laki yang berjalan sambil membawa alat musik ‘kentrung’ menuju jalan raya besar yang sangat dekat dengan perempatan. Kakinya melangkah mengikuti mereka.
                 Setelah ia melihat banyak mobil dan kendaraan bermotor, di pinggir jalan terdapat ibu-ibu tua yang pakaiannya tak sebagus yang ia pakai. Sembari membawa wadah yang terbuat dari plastik, mereka berusaha untuk mendapatkan sedikit uang koin untuk mereka makan. Sungguh miris kehidupan bangsa ini. Sedangkan di luar sana, ada beberapa orang yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan pribadi daripada sosial. Pedulikah mereka terhadap kehidupan orang-orang jalanan ini ??
                   Ia tersadar dari mimpi yang buta. Selama ini banyak orang yang menganggap remeh orang-orang yang tinggal dan bertekun di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi itu. Ia tak habis pikir bagaimana seorang Presiden mampu menangani masalah yang tak asing seperti ini. Menangani gelandangan dan pengemis, orang miskin, atau yang lain. Pasti sungguh berat. Di jendela lain, seorang Presiden pasti juga menangani masalah pemerintah yang kian banyak dengan berbagai macam masalahnya. Dari yang sepele hingga hal yang besar. Ditambah lagi kejadian-kejadian yang tak terduga. Begitu beratnya menjadi seorang Presiden. Namun, bagaimana jika ia menjadi seorang Ibu Presiden, memimpin bangsa yang memiliki ribuan pulau, banyak masalah, banyak beban, serta banyak memiliki tanggung jawab.
--o0o—
                  Ia terbangun dari tidurnya pagi itu. Tiba-tiba ia mendengar suara perempuan tua. Kamarnya tiba-tiba terasa mencekam. Namun, ia ingin tahu asal suara itu. Ia membuka tirai jendela dan ia melihat gerombolan perempuan yang di atas kepalanya terdapat barang-barang berat. Ia terdiam. Ia bingung tak mengerti apa artinya.
                 Di sekolah, ia menceritakan semua isi hatinya kepada Ian. Ian pun juga mau mendengar walaupun itu hanya terpaksa. Tetapi ia yakin Ian pasti membantunya. “Ian, bantu aku ya? Ijinkan aku melakukan hal ini sebelum vonis itu benar-benar nyata. Ini tugas mulia”, paksanya kepada Ian. Ia melihat Ian tampak gelisah dengan tawaran gadis itu. Ia hanya bisa berdoa dalam hati s agar Ian mau membantu tugas itu.
                 “Ita, aku mau membantumu tetapi tolong jangan tinggalkan aku dahulu. Aku masih ingin bersahabat denganmu”, ucapnya serius. Perkataan Ian barusan membuat Juwita kaget dan jantungnya menjadi berdebar dengan kencang.
                 “Kau tak perlu memikirkan hal itu. Yang penting adalah bagaimana caranya supaya sebelum aku tak ada aku dapat membawa perubahan besar untuk bangsa ini”, katanya dengan lirih. “Kalau begitu aku mau membantumu”, ucapnya berat. “Oh ya? Ya ampun Ian, terima kasih. Kau memang sahabatku yang paling baik di dunia ini”, rayunya dengan penuh kebahagiaan. Awal yang baik.
--o0o--
                   Ia mengajak Ian ke suatu tempat. Mungkin tempat dimana ia baru melihat. Tempat kumuh di bawah kolong jalan layang. Di situ terdapat banyak anak jalanan yang sedang makan siang. Juwita senang dapat melihat anak-anak itu dapat makan nasi walaupun tak banyak tetapi cukup untuk mengisi perut mereka yang kosong.
                 “Ita, kau serius mengajakku ke tempat seperti ini?”, tanyanya penasaran. “Iya. Bukankah kita sudah sampai di tempat tujuan kita?”, jawab Juwita. Mereka yang bergerombol membersihkan sisa-sisa bungkus makanan yang makanannya sudah lenyap habis mereka makan. Mereka begitu tertib dan terlihat seperti menyenangkan.
                 “Kak, kami sudah selesai makan. Kemudian, apa yang harus kami lakukan?”, tanya salah seorang anak jalanan. Sepertinya ia yang paling tua di antara anak jalanan yang lain. “Kita mau belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kau mau?”,ucapnya kepada anak jalanan itu. Terlihat ia dan teman-temannya berunding. “Iya kak. Kita mau sekolah”, katanya dengan senyum yang manis.
                  Juwita mengajarkan alfabet dari A hingga Z dan angka dari 1 hingga 20. Mereka antusias sekali. Sekali-kali Ian yang mengajar. Ian juga tak kalah semangatnya dengan anak jalanan ini. Sudah terlihat jelas dari raut wajahnya.
                 Menjadi Presiden memang bukan hal mudah. Mungkin Presiden juga memikirkan anak jalanan, pengemis, bahkan orang miskin yang hanya tinggal di gubuk kecil pinggir sungai, rel kereta api, maupun yang tinggal di bawah kolong jembatan. Namun Presiden tak bisa jika ia bekerja sendiri untuk menyemangati anak jalanan yang membutuhkan pendidikan. Jika kita sebagai anak-anak bangsa yang berpendidikan, seharusnya kita dapat memberi semangat anak jalanan.
                  Juwita dan Ian cukup puas dengan apa yang mereka berdua ajarkan. Hal yang kecil untuk bisa membuat perubahan sudah mereka lakukan walau masih langkah pertama. Tetapi semangat mereka tak sampai di sini saja. Mereka terus berjuang untuk dapat membawa teman-teman kami yang lain untuk terjun langsung di lapangan.
                 “Ita, terima kasih untuk hari ini. Aku bangga denganmu”, ucap Ian sembari ia memegang es teh yang ada di plastik itu. Mereka memang capek. Namun mereka juga bahagia. “Iya, Ian. Justru aku yang semestinya berterima kasih kepadamu. Kau membantuku dalam menyelesaikan misiku yang pertama dan sederhana ini”, jawab Juwita dengan polos. “Bukankah itu gunanya seorang sahabat?”, tanyanya. “Ya, benar sekali”, ucap Juwita. Tiba-tiba hembusan nafas Juwita tak teratur. Dadanya sesak sekali untuk bernafas. Ian melihat keadaan Juwta yang seperti itu dan segera menolongnya. “Ita, kau kenapa? Ya Tuhan tolong Ita.”, ucapnya dengan sedikit takut. Juwita tiba-tiba jatuh dan segera ia membawanya pulang. Ia memanggil tukang becak untuk mengantarnya ke rumah.
--o0o--
                  Mata Juwita melihat lampu yang bersinar sangat terang. Ia sudah membuka matanya. Ia melihat Ian menangis mengeluarkan air mata. Ia mendongakkan dagunya. “Ian, kau kenapa menangis?”, tanyanya. “Aku tak siap kau pergi…”, ucapnya dengan nada yang agak serak. “Tuhan yang mengatur umur manusia, Ian. Kau percaya itu?”, ucapku lirih. “Ya, aku percaya”, katanya.
                  Juwita berusaha untuk bangun dan makan bubur ayam yang dibelikan Ibunya. Mungkin ia  terlalu capek. Sehingga membuatnya menjadi lemas. Karena banyaknya udara kotor yang ia hirup, mungkin ia sesak. Penyakit itu memang berbahaya. Tetapi ia yakin pasti sembuh.
                 “Ita, untuk sementara, besok kau berhenti untuk mengajar anak jalanan itu.  Biar aku dan anak lain saja yang mengajar. Aku tahu bahwa kau tak ingin kita saja yang membantu mereka mencari ilmu”, kata Ian sambil menoleh ke hadapan Juwita yang masih terbaring sembari mengunyah sedikit demi sedikit. Ia tampaknya serius untuk mengajak teman-temannya mengajar anak jalanan.
                 “Kau yakin berhasil?”, tanyanya singkat dan tampak sedikit ada keraguan. “Ya, aku yakin. Lihat saja besok”, ucapnya. “Oke, aku percayakan semuanya kepadamu”, katanya singkat, padat, dan jelas.
--o0o—
                  Pagi ini badannya sudah mulai tak sakit seperti semalam. Namun, ia masih belum dapat pergi ke sekolah maupun pergi mengunjungi anak jalanan seperti kemarin. Juwita memikirkan kondisi tubuhnya. Ia merasa akhir-akhir ini merasa sangat lelah. Dadanya juga sering kambuh. Ia sedikit khawatir dan takut.
                  “Tuhan, aku merasa lebih lemah. Aku belum siap untuk pergi meninggalkan dunia ini. Aku ingin masih dapat bertemu dengan anak jalanan. Aku menyayangi mereka seperti aku mencintai bangsaku ini. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Cita-cita untuk bisa merasakan bagaimana menjadi seorang Presiden. Aku tahu  tak mudah apalagi aku sedang bersama dengan penyakit ini. Tuhan, tolong aku. Mampukan aku”, ucap Juwita dalam hati. Tiba-tiba matanya meneteskan air mata. Tangannya gemetar dan jantungnya berdebar dengan kencang. Ia menghapus air matanya secara tiba-tiba saat ia melihat Ibunya datang menghampiri Juwita.
                 “Juwita kenapa kau menangis, Nak?, ucap Ibunya samil membawakan mangkuk berisi sup kesukaan Juwita. “Juwita takut, Bu”, jawabnya. “Takut kenapa? Hidup ada di tangan Tuhan. Jadi Tuhan yang menentukan kita untuk hidup atau tidak. Ibu juga takut tetapi Ibu harus menerima takdir yang diberikan Tuhan kepada kita.”, ucap Ibu panjang lebar.
                “Juwita takut tak bisa membawa perubahan untuk bangsa ini”, ucapnya. “Juwita tak perlu takut tentang hal itu. Itu bukan menjadi tugas Juwita saja tetapi orang lain juga begitu. Termasuk Ibu.”, ucap wanita yang umurnya sudah tua namun sifat bijaknya masih terlihat sebagai wanita dan Ibu Juwita. “Iya, Bu. Juwita mengerti.”, ucap Juwita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melanjutkan sarapannya. Ia tiba-tiba memikirkan Ian, sahabat baiknya itu.
--o0o--
                  Lelaki itu menyusuri lorong sekolahnya dengan wajah lesu tak berdaya. Teman-temannya bingung melihat wajah Ian yang tak lesu itu. Padahal biasanya Ian adalah salah satu murid yang selalu menyapa teman-temannya jika saat ia datang. Namun, teman-temannya bertanya-tanya kenapa Ian seperti itu.
                  “Tian, kau kenapa? Murung sekali mukamu itu? Kau sakit?”, tanya salah seorang teman kelasnya. “Bukan aku yang sakit. Tetapi Juwita. Dia lemah di rumah. Hmm, kau mau ikut denganku tidak? Kau ajak teman-teman siapa yang mau ikut aku”, tawar Ian. “Kemana?”, tanya temannya itu sekali lagi. “Sudahlah ikut aku saja”.
                  Teman-teman Ian semua bingung. Namun teman Ian menawarkan kepada teman-teman yang lain. Yang ikutpun tak sedikit tetapi banyak. Ian tersenyum melihat simpati teman-temannya. Ian juga yakin pasti misi seorang Juwita akan berhasil dan lebih berhasil.
                   Kriinggg…..Kriiinggg…. bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Ian cepat-cepat mengumpulkan teman-temannya. Ian menyuruh teman perempuannya untuk membeli roti sebanyak-banyaknya. Setelah semua siap, mereka berjalan dari sekolah menuju tempat yang dituju. Semua temannya bingung. Jalan yang dilalui adalah rel kereta api, jalan raya besar kemudian masuk ke kolong-kolong jembatan. Teman-temannya tersenyum melihat tingkah Ian.
                  Anak-anak jalanan yang melihat Ian yang membawa kantong plastik segera berlarian menuju sebuah tempat yang lumayan luas. Mereka memberi salam kepada Ian dan teman-temannya. Teman perempuan Ian membagi-bagikan roti yang tadi sudah di beli. Teman-teman Ian semua tersenyum. Ada juga yang sedikit demi sedikit mengusap matanya yang sudah mengeluarkan air mata. Ada pula yang duduk di sebelah anak jalanan yang kira-kira berumur 3 tahun. Sungguh bahagia melihat anak jalanan bahagia.
                  “Adik-adik, Kak Ian membawa teman Kakak. Banyak ya? Nah, sekarang mari kita memulai belajar kita hari ini.”, ucap Ian layaknya sebagai guru di situ. “Kak, teman Kakak yang satunya kemana? Yang cantik itu”,ucap salah seorang anak jalanan.
                  “Hmm, Kak Juwita sedang sakit. Doakan saja semoga sembuh”, jawab Ian dan tiba-tiba air matanya jatuh. Teman-temannya mencoba menghibur Ian. Teman-teman Ian salut kepada apa yang diperbuat Juwita untuk anak jalanan ini. Semua teman Ian antusias sekali mengikuti belajar tersebut. Ada yang mengajarkan menulis. Ada yang mengajarkan membaca. Semua antusias. Teman perempuan Ian hilang tiba-tiba. Tak tahu kemana. Ian bingung saat melihat beberapa teman-temannya tidak ada. Tak lama, teman-temannya membawa kardus besar. Kardus itu berisi nasi bungkus dan air minum. Sungguh perbuatan yang tak terduga. Ian tersenyum bangga. Sepulang dari mengajar anak jalanan, mereka pergi ke rumah Juwita. Disana, Juwita tersenyum melihat perbuatan teman-temannya. Ia menitikkan air mata. Ia bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka semua. Teman perempuan Ian memeluk Juwita dan mulai menangis.
                 Beberapa hari kemudian Juwita sudah mulai pulih. Ia bersama-sama dengan segerombol teman-temannya pergi mengajar anak jalanan. Setiap harinya teman yang diajak mulai bertambah. Selain anak jalanan, mereka memberi sembako kepada orang-orang yang tak mampu. Sunggguh betapa mulianya perbuatan mereka. Walaupun rata-rata anak jurusan IPA, namun jiwa sosialnya tak kalah dengan anak jurusan IPS.
                 “Teman-teman, terima kasih telah membantuku untuk misi ini. Aku tak seberhasil ini tanpa kalian. Aku bangga. Jika seandainya aku tiada, terus lanjutkan. Aku sudah merasakan sebagai seorang Presiden. Presiden yang tak peduli dengan kehidupan politik saja, tetapi juga peduli terhadap kehidupan sosial. Ajak orang banyak untuk bisa berbagi kepada orang lain yang membutuhkan kita. Aku menyayangi segalanya di dunia ini terlebih anak jalanan, pengemis, orang tak mampu serta yang lain”, ucap Juwita. Semua memeuk Juwita. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan ia terjatuh. Teman-temannya membawa pergi ke Rumah Sakit namun nyawanya tak tertolong. Juwita telah menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk terakhir kalinya di depan temannya.
                   Juwita yang terkena penyakit kanker paru-paru telah tiada. Ia tiada dengan tenang. Perbuatan yang telah ia lakukan sudah selesai.”Jika aku menjadi  seorang Presiden, aku ingin bisa keliling jalanan tanpa dikawal, mencoba memakai pakaian bekas, tak makan seharian, memakmurkan rakyatku, kejahatan hilang bahkan tak ada korupsi, terlebih menjadi seorang Presiden yang jujur, bijak, dan setia kepada rakyat terutama takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”, ucapnya dalam hati sebelum ia memulai misi itu, beberapa minggu yang lalu. Pesan singkat dari Juwita untuk Bangsa Indonesia.
            “Membawa perubahan bangsa tidak selalu menjadi seorang pemimpin seperti Presiden, tetapi dimulai dari diri sendiri. Dari hal kecil, dari lingkungan sekitar kita selagi kita memiliki waktu sebagai generasi muda berpendidikan” (EY)
--SELESAI--